Yogyakarta (ANTARA News) - Penasihat Khusus Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe untuk masalah kesetaraan gender Akiko Yamanaka mengajak kaum perempuan meningkatkan ketahanan terhadap krisis yang rentan melanda dunia saat ini.

Seruan tersebut disampaikan dalam diskusi panel pertama Sidang Umum ke-35 Dewan Perempuan Internasional (International Council of Women/CW) yang berbarengan dengan Temu Nasional Seribu Organisasi Perempuan Indonesia di Grand Inna Malioboro Yogyakarta, Kamis .

"Tantangan hari ini adalah bagaimana mempertahankan perdamaian di sekitar Anda, dan bagaimana membuat keseimbangan dalam kehidupan kita sebagai pribadi dan masyarakat. Kita adalah perempuan dan masing-masing diri kita adalah ibu yang kuat!" kata Yamanaka.

Menurut profesor tamu di Universitas Harvard itu, dunia tidak pernah lebih membutuhkan peran perempuan seperti saat ini, di mana dunia rentan terhadap situasi geopolitik, perang dagang, dan pemanasan global.

Yamanaka menjabarkan pengalamannya sebagai penasihat khusus Perdana Menteri yang kali pertama mencetuskan konsep "Womenomics" dalam Sidang Umum PBB pada 2013. Pernyataan tersebut menjadi komitmen Abe untuk meningkatkan kesetaraan gender dalam masyarakat Jepang yang didominasi kaum pria.

Meskipun sebagian besar perempuan Jepang berpendidikan tinggi, namun peran mereka di masyarakat masih dibayangi stereotip kewajiban domestik yang kadang memaksa mereka meninggalkan pekerjaan untuk mengurus anak dan rumah tangga.

Kondisi tersebut menempatkan Jepang di posisi 158 pada indeks Inter-Paliementary Union (IPU) dan rangking 122 pada Indeks Kesetaraan Gender pada 2017.

Padahal, perempuan terbukti lebih mampu bertahan dalam menghadapi krisis. Sebagai contoh, Yamanaka menyebutkan bahwa setelah gempa besar dan tsunami menimpa Jepang pada 2011, Fukushima menjadi wilayah yang paling terdampak parah, terlebih karena ada kebocoran reaktor pembangkit listrik nuklir akibat gempa.

Semua orang patah semangat karena tragedi, tanpa harapan untuk masa depan, dan tidak tahu bagimana untuk bangkit. Namun, ada satu grup perempuan yang sebagian besar anggotanya adalah ibu rumah tangga yang mulai membuka restoran seadanya yang menjual nasi kepal dan sup miso.

Dari sana sesuatu yag menakjubkan terjadi, bukan hanya masyarakat setempat yang datang, tapi banyak sekali yang datang, mulai dari pekerja yang membantu rakonstruksi, hingga ratusan sukarelawan.

Tempat yang dikelola para ibu berubah dari sebuah restoran sederhana menjadi pusat kegiatan masyarakat, di mana orang dapat berkumpul dan bercengkerama satu sama lain. Peran para ibu yang membuka restoran sederhana dan berubah menjadi pusat kegiatan masyarakat juga terjadi di wilayah Miyagi dan Iwate yang juga terdampak parah oleh gempa dan tsunami pada 2011.

"Di tengah keterpurukan karena bencana, kita menyaksikan peran para 'kimotamakaasan' (ibu tangguh) yang mampu bertahan dan menyelamatkan kota dan masyarakt mereka," kata Yamanaka.

Selain Profesor Yamanaka, diskusi panel pertama Sidang Umum ICW ke-35 juga menghadirkan tiga pembicara lain, yakni Ketua Komisi Pendidikan Tinggi Filipina Patricia Licuanan, Presiden Dewan Nasional Organisasi Perempuan (NCWO) Malaysia Dr. Sharifah Hapsah, dan Ketua Komisi Nasional Perempuan Filipina (PCW) Remedios Rikken.

Sidang Umum ke-35 ICW dan Temu Nasional Seribu Organisasi Perempuan Indonesia diselenggarakan ICW, Kongres Wanita Indonesia (Kowani), dan didukung 35 BUMN, termasuk Kantor Berita Antara.

Pewarta: Azizah Fitriyanti
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2018