Jakarta (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan pemahaman melalui program pertukaran antar budaya serta didukung kerjasama global, seperti pertukaran pemuda dan pelajar di tingkat internasional, bisa menjadi salah satu cara untuk menciptakan perdamaian dunia.
Hal itu diungkapkan Presiden Yudhoyono saat membuka seminar "Islam and West: From Coexistence to Engagement", yang diadakan Bina Antar Budaya, di Istana Negara, Jakarta, Jumat.
Presiden Yudhoyono yang didampingi Menko Kesra Aburizal Bakrie menyatakan kerjasama global dan berdialog antara negara berkembang dan negara Barat menjadi salah satu cara melanjutkan perdamaian jangka panjang.
Seminar yang digagas Bina Antarbudaya bekerja sama dengan AFS Intercultural Program itu digelar sekaligus untuk memperingati 50 tahun Program Pertukaran Pelajar AFS di Indonesia.
"Setiap manusia merasakan manfaat dari program pertukaran budaya, dan tidak akan ada benturan antar masyarakatnya," kata Presiden.
Menuru Kepala Negara, "Saya kira tema yang lebih baik untuk merayakan ulang tahun emas dari kegiatan dan organisasi (Bina Antarbudaya dan AFS) ini di Indonesia".
Pendiri Bina Antarbudaya, Tanri Abeng, mengemukakan Islam dan Barat saat ini seperti dua kutub yang bersebrangan.
"Perlu sebuah kesadaran dan usaha kedua budaya ini untuk mau saling berinteraksi dan memahami perbedaan yang ada sehingga kesalahpahaman bisa didilangkan," kata Tanri.
Ia juga mengemukakan pemikiran mengenai pentingnya interaksi intensif untuk menumbuhkan pemahaman dan empati di antara dua yang berbeda, khususnya Islam dan Barat.
Wahana pembelajaran
Sementara itu, Prof Jacqueline Wasilwski, ahli kajian antarabudaya dari The International Society for Interculral Education, Training and Research (SIETAR) menyatakan program pertukaran pelajar seperti AFS merupakan wahana pembelajaran antarbudaya yang efektif.
Karena, ujar Jacqueline, pesertanya harus belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan yang memiliki nilai, cara hidup dan cara pikir yang sangat jauh berbeda dengan lingkungan asal.
"Melalui interaksi mendalam sebagai anggota keluarga pada akhirnya rasa pengertian, empati dan cinta budaya yang berbeda ini pun lalu berlanjut menjadi sebuah hubungan kekeluargaan yang sulit untuk dipisahkan," kata Jacqueline.
Ketua Dewan Pembina Bina Antarbudaya yang juga salah satu peserta pertama AFS, Taufiq Ismail, mengatakan seminar ini merupakan usaha nyata untuk menumbuhkan kesadaran bahwa sesungguhnya melalui interaksi dan pemahaman budaya, dua kubu yang berseberangan seperti Islam dan Barat dapat saling memahami dan bekerja sama.
Taufiq menuturkan, dengan pemahaman ini diharapkan kedua pihak bisa menciptakan perdamaian tanpa harus meninggalkan jati diri masing-masing.
Pada acara pembukaan seminar yang dihadiri sekitar 200 orang alumni AFS tersebut, Taufiq Ismail membacakan puisi berbahasa Inggris berjudul "Together We Plant Seeds of Trees One By One, One Day a Forest May Strecht Out".
Menurut budayawan yang menjadi perserta pertama program AFS tahun 1956-1957 ini, puisi tersebut dibuatnya di Sungai Hudson, Manhattan, New York, tahun 1996, mengenang 40 tahun dirinya ikut program AFS bersama teman seangkatannya seperti Tanri Abeng. (*)
Copyright © ANTARA 2007