Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan hal itu pada diskusi "#2019GantiPresiden Makar atau Bukan", di Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu.
Menurut dia, gerakan yang memunculkan tanda pagar itu sudah muncul ke ruang publik pada saat masa kampanye belum tiba dan menyuarakan wacana-wacana yang menonjolkan sentimen emosional. "Gerakan ini tidak mendidik dan membuat kegaduhan," katanya.
Ia menegaskan, munculnya #2019GantiPresiden yang kemudian disusul kemunculan #2019TetapJokowi menjadi kontroversial yang mengundang pro-kontra di tengah masyarakat. Gerakan tanda pagar itu, kata dia, telah menimbulkan polemik, apakah makar atau bukan.
"Tagar-tagar itu sentimennya negatif, karena dibawa pada orang, yakni mendukung orang secara personal," katanya.
Selain gerakan tanda pagar, juga ada konsinyiring relawan dan pendukung sebelum masa kampanye Pemilu 2019 dilaksanakan.
Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Yarsi Jakarta ini menyayangkan kehadiran kedua gerakan tagar itu, yang hanya menyuarakan ajakan tanpa ada konsep maupun visi dan misi pasangan calon.
Di sisi lain, dia juga melihat bahwa kemunculan tanda pagar itu, salah satunya adalah ambang batas pemilihan presiden sesuai aturan dalam pasal 222 UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu.
Melalui gerakan tagar tersebut, menurut dia, lebih memudahkan untuk membedakan mana kelompok pendukung pasangan calon presiden yang satu dan yang lainnya.
Pewarta: Riza Harahap
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2018