San Francisco (ANTARA News) - Pimpinan daerah dan masyarakat adat global kembali berdialog dalam Gubernur untuk Iklim dan Hutan (Governor`s Climate and Forest/GCF) guna mempertegas Deklarasi Rio Branco dalam menetapkan prinsip-prinsip pedoman kemitraan pemerintah subnasional, masyarakat tradisional dan komunitas lokal untuk menjaga hutan.

Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi dalam pertemuan GCF di San Francisco, Selasa, mengatakan untuk sampai ke titik ini masyarakat adat, khususnya di Indonesia yang berada di bawah naungan AMAN telah melalui banyak tantangan.

Sebanyak 34 gubernur dari sembilan negara di lima benua menghadiri pertemuan GCF yang digelar pada 10-11 September 2018 di San Francisco. Gubernur Kalimantan Utara Irianto Lambri, Gubernur Kalimantan Barat Doddy Riyadmadji dan Bupati Jayapura Mathius Awoitauw turut hadir.

Diskusi panjang berulang kali bersama masyarakat adat di dalam organisasi, lanjut dia, sudah dilakukan guna menetapkan standar pedoman kemitraan yang akan disepakati bersama para pimpinan daerah global pada dialog kali ini, sebagai kelanjutan dari Deklarasi Rio Branco (Rio Branco Declaration/RBD) yang menjadi hasil dari Rapat Tahunan Satgas GCF di Rio Branco, Brasil, pada 2014.

Sebagai catatan, RBD yang telah diadopsi pimpinan daerah yang tergabung dalam Satgas GCF tersebut berkomitmen untuk mengurangi deforestasi dan mendorong tercapainya pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan rendah emisi di seluruh yurisdiksi baik di negara bagian maupun provinsi anggota, di mana pada saat bersamaan membangun kemitraan dan berbagi manfaat bersama masyarakat tradisional dan komunitas lokal berbasis hutan.

Negara bagian dan provinsi anggota GCF ini mengakui bahwa masyarakat tradisional serta komunitas-komunitas lokal berbasis hutan seringkali menjadi pembuka jalan dalam keberhasilan kebijakan terkait konservasi hutan dan pembangunan daerah yang rendah emisi.

"Kami ingin berkontribusi. Karena pada kenyataannya tantangan yang kami hadapi terefleksi, khususnya, di dalam dokumen ini. Tapi yang kami juga pahami, kami datang dari kondisi yang berbeda, kondisi politik berbeda, kultur dan prespektif yang berbeda," kata Rukka.

Ia menjelaskan, dokumen yang akan menjadi pedoman kemitraan pemerintah daerah dan masyarakat adat ini, memungkinkan kedua pihak untuk bisa bergerak maju bersama karena menyadari bahwa masa depan yang lebih baik, lingkungan yang lebih baik, peradaban yang lebih baik, akan menyembuhkan bumi secara keseluruhan.

Secara nyata, ia mengatakan upaya ini dapat terjadi di level lokal atau daerah. Ini akan semakin cepat tercapai jika pemerintah daerah dan otoritas masyarakat adat sebagai pemilik teritori di sana bekerja bersama.

"Itu cara menarik diri kita bersama dalam beberapa tahun terakhir dan berujung pada apa yang kita sebut sebagai standar minimum (pedoman kemitraan pemerintah daerah dan masyarakat adat atau lokal dalam kerangka RBD)," lanjutnya.

Rencananya Prinsip-Prinsip Pedoman tentang Kemitraan antara Pemerintah Subnasional, Masyarakat Tradisional dan Komunitas Lokal sebagai hasil pertemuan baru akan dikeluarkan pada malam Global Climate Action Summit (GCAS) bersama dengan pejabat pemerintah dan pemimpin lingkungan dari seluruh dunia yang direncanakan untuk berkumpul di San Francisco dari 12 hingga 14 September 2018.

Satgas GCF telah berusia 10 tahun terdiri dari pemimpin negara bagian dan provinsi dari Brasil, Kolombia, Ekuador, Indonesia, Pantai Gading, Meksiko, Nigeria, Peru, Spanyol dan Amerika Serikat.

Baca juga: Gubernur Kalbar terpilih sebagai koordinator nasional GCF
Baca juga: Laporan dari San Francisco - Ribuan massa suarakan aksi perubahan iklim

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018