Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) dari Fraksi PDI Perjuangan, Ahmad Basarah meminta kepada umat Islam Indonesia untuk memetik hikmah dari peristiwa tahun baru Islam (tahun baru Hijriyah) ke 1440 yang jatuh pada 11 September 2018.

Penanggalan Hijriyah bukan diambil dari hari kelahiran Nabi besar Muhammad SAW, melainkan diambil dari peristiwa hijrahnya Rasululullah SAW dari Mekah ke Madinah. Peristiwa historis itulah yang menjadi titik balik kemenangan, perkembangan dan penyebaran Islam. Oleh karena itu, umat Islam Indonesia harus mewarisi api hijrahnya Rasulullah dari Mekah ke Madinah.

"Di Madinah inilah nabi besar Muhammmad SAW berhasil melakukan konsolidasi, menggalang persatuan dan kesatuan. Di kota inilah Nabi besar Muhammad leluasa berdakwah, sehingga jumlah umat Islam semakin besar, yang pada akirnya umat Islam kembali ke Mekkah dan melakukan penaklukan (Fatkhul Mekah) dengan damai," kata Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah dalam siaran pers yang diterima Jakarta, Selasa (11/9).

Inisiator pembentukan Baitul Muslimin Indonesia (BAMUSI) menguraikan lebih lanjut, selama di Madinah, nabi besar Muhammad SAW tidak hanya menyebarkan Islam dengan damai. Hal lain yang dilakukan adalah memulai kehidupan bernegara. Bahwa penduduk Madinah adalah masyarakat plural. Komposisi penduduknya bukan hanya kaum Muhajirin dan kaum Ansor saja, melainkan ada juga kaum Yahudi dan suku-suku Arab yang lain. Kemudian masyarakat majemuk tersebut diikat dalam perjanjian yang disebut dengan Mitsaqul Madinah (Perjanjian Madinah). Semua komponen masyarakat memiliki kewajiban saling bahu-membahu dan membantu serta menjaga Kota Madinah dari serangan musuh.

"Hal penting yang menjadi catatan adalah bahwa Piagam Madinah sama sekali tidak menyebut dasar negara. Toleransi yang dibangun adalah toleransi bernegara. Sebagai satu kelompok, kaum Yahudi Bani Auf, Yahudi Bani Najar, Yahudi Bani Sa'idah, Yahudi Bani Aus, Yahudi Bani Jusyam hidup berdampingan dengan kaum muslimin. Kedua belah pihak memiliki agama masing-masing dan umat Islam memegang prinsip akidahnya," jelas Basarah.

Masih kata Basarah, dalam konteks keindonesiaan toleransi kehidupan bernegara memang harus terus dirawat dan dijaga. Terlebih dalam faktanya, komposisi masyarakat Indonesia amat majemuk dari aspek suku, agama, ras, dan lain sebagainya. Basarah juga menegaskan, bahwa wajah Islam di tanah air adalah wajah Islam yang ramah dan simpatik. Berbeda dengan wajah Islam yang ditunjukan oleh beberapa kelompok di negara-negara Islam lainnya.

"Wajah Islam Indonesia adalah wajah Islam moderat (washatiyah). Kita bisa lihat, semua hidup aman dan rukun. Mari kita bandingkan Afganistan dengan Indonesia. Luas Afghanistan adalah 0,6 juta kilometer persegi dengan jumlah penduduk adalah 35 juta jiwa, terdiri dari 14 suku bangsa dan 30 bahasa. Sedangkan Indonesia luas daratannya adalah 1,9 juta kilometer persegi, dengan jumlah penduduk adalah 260 juta jiwa, terdiri dari 1.300 suku bangsa dan 740 bahasa. Afghanistan dirundung perang dan konflik berkepanjangan. Sedangkan Indonesia tidak. Inilah wajah Islam damai Indonesia yang dipersatukan dan diikat oleh Pancasila. Tugas kita semua adalah merawat dan menjaga spirit kebhinekaan tersebut," demikian penjelasan Basarah yang juga Pimpinan Lazis Nahdlatul Ulama PBNU.

Pewarta: Jaka Sugiyanta
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018