Mereka sudah tahu musik saya dan punya teknik yang bagus juga
Jakarta (ANTARA News) - Alunan beluk mengawali Opera Saidjah-Adinda yang digelar pada Sabtu malam (8/9) di Museum Multatuli, Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten.
Sang pelantun beluk memimpin barisan segerombolan orang yang menggunakan pakian serba hitam, namun semua wajahnya ditutup dengan selendang putih, sambil memasuki panggung.
Di tengah-tengah mereka tampak empat orang sedang menjunjung benda serupa jenazah yang ditutupi selembar kain putih. Adegan kematian sang Adinda menjadi pembuka opera yang diilhami dari cerita pendek Saidjah dan Adinda yang ada dalam novel "Max Havelaar" (1860) karangan Multatuli atau Eduard Douwed Dekker.
Di deretan paling belakang ada pula kerbau sungguhan yang ikut berjalan memasuki panggung.
Kemudian adegan berikutnya diisi oleh dua penari pria yang menggunakan pakian serba hitam seperti pakaian tradisional Banten, keduanya terlihat akrab, tangan mereka saling becengkram.
Suasana kelokalan semakin terasa saat maestro piano Indonesia, Ananda Sukarlan medentingkan nada piano dengan nada-nada khas Sunda.
Tak lama kemudian, Saidjah pergi, tinggal ayahnya sendiri, lalu suasana menjadi mencekam dengan kedatangan seorang tentara dengan seutas tali.
Tentara itu lalu menghajar ayah Saidjah habis-habisan hingga akhirnya pria malang itu meregang nyawa, tubuhnya diikat di sebuah tiang dan dibiarkan begitu saja.
Alur cerita kemudian kembali kepada kisah cinta Saidjah dan Adinda, nuansa opera khas barat sesungguhnya cukup terasa pada bagian ini. Lewat nyanyian bernada tinggi, Saijah meminta Adinda menunggunya karena dia ingin pergi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak.
Pada adegan tersebut Saidjah diperankan oleh penyanyi tenor Widhawan Aryo Pradhita dan Adinda diperankan oleh penyanyi sopran Mariska Setiawan.
Sekembalinya Saidjah dari pengembaraannya, betapa terkejutnya dia ayah yang dicintainya hanya tinggal nama, yang dia temui hanya tambang yang terikat ditembok, bekas tempat penyiksaan ayahnya.
Tak hanya ayahnya, Adinda kekasih tercintanya juga ikut gugur, Saidjah sempat menemui Adinda dalam kondisi sekarat. Keduanya kembali berjanji bahwa dalam kondisi seperti itu pun cinta mereka tidak akan terpisah.
Kematian keduanya, membuat Saidjah marah terhadap para penjajah, tak ada ada lagi rasa takut di dalam dirinya. Dia berani menghadapi penjajah meski tanpa senjata walaupun akhirnya dia ikut menyusul ayah dan Adinda.
Lantunan beluk kembali bergema, menutup sandiwara 35 menit yang ditampilkan di arena terbuka tersebut.
Dibuat dalam waktu singkat
Ananda Sukarlan bersama sutradara dan koreografer Chendra Panatan hanya membuat karya tersebut dalam waktu yang singkat, sekitar tiga bulan.
Sebab itu, mereka tidak menampilkan cerita Saidjah dan Adinda secara utuh, mereka hanya memilih bagian-bagian cerita yang dirasa cukup penting dan dapat menggambarkan keseluruhan cerita.
"Memang cukup sulit, untuk mengambil beberapa adegan saja. Maka Chendra memilih untuk membuat alurnya maju-mundur agar ceritanya tetap dapat diikuti," kata Ananda.
Ananda pun mengaku memilih pemain yang sudah profesional untuk pementasan tersebut, dia juga memilih dua pemain musik dari luar yaitu Carmen Caballero dari Spanyol untuk bermain flute, dan Vahr Luhtsalu dari Estonia.
"Mereka sudah tahu musik saya dan punya teknik yang bagus juga," kata Ananda.
Bagi Ananda "Max Havelaar" bukanlah suatu yang asing, dia sudah membaca novel tersebut sejak dia masih sekolah. Keinginan dia membuat karya berdasarkan karya Multatuli pun sudah ada sejak ia kuliah di Belanda pada 1990.
Namun karena kegiatannya yang cukup banyak, keinginannya belum terwujud, hingga suatu saat kurator dari Festival Seni Multatuli Bonnie Triyana mengajaknya untuk membuat karya untuk festival tersebut.
Kemudian dia memilih untuk mengadaptasi cerita sempalan dari novel "Max Havelaar" yaitu Saidjah dan Adinda ke dalam bentuk opera. Opera menurut dia adalah bentuk terbaik untuk menterjemahkan kembali cerita tersebut karena di dalam opera ada bentuk yang kompleks dan dramatis untuk menyampaikan pesan cerita tersebut.
"Saya memilih cerita "Saidjah dan Adinda" karena saya suka ceritanya dan ini pas buat opera, ada kisah cintanya, tragisnya dan tentu di dalam cerita tersebut terlihat kekuatan Multatuli bercerita bagaimana semena-menanya penjajahan pada waktu itu," kata dia.
Dia berharap melalui opera tersebut maka dapat menyampaikan ide-ide Multatuli dengan lebih jelas kepada khalayak.
Baginya kisah Saidjah dan Adinda adalah kisah cinta sejati yang unik dan mengandung unsur heroik dari Multatuli yang berani mengungkapkan kekejaman Belanda di tanah jajahannya.
"Kisah ini lebih dramatis dari pada cerita "Romeo dan Juliet" yang sebenarnya itu cinta monyet. Mereka ketemu hari Minggu, kemudian Selasa nikah, dan hari Rabu mereka bunuh diri. Kalau cerita Saidjah-Adinda lebih nyata, bahkan Adinda ditinggal tiga tahun tetapi dia tetap setia. Tetapi saat Saidjah pulang hanya ketemu mayatnya saja," kata dia.
Opera tersebut juga akan dimatangkan kembali untuk penampilan "200 Tahun Multatuli" pada 2020. Rencananya Ananda akan membuat okestra yang lebih besar dengan cerita yang lebih kompleks untuk penampilan tersebut.
Produser Opera Saidjah-Adinda sekaligus kurator Festival Seni Multatuli Bonnie Triyana mengatakan apa yang ditampilkan Ananda tersebut adalah bentuk sederhana dari opera besar yang akan ditampilkan pada acara "200 Tahun Multatuli".
"Memang ini sederhana karena bikinnya mendadak. Dia hanya menggarapnya dalam waktu tiga bulan. Bahkan Ananda sempat mendekam selama berminggu-minggu untuk membuat partitur musik opera tersebut," kata dia.
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018