Semarang (ANTARA News) - Berdasarkan riset dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyebutkan, perempuan ternyata lebih banyak melakukan kekerasan terhadap anak dengan prosentase sebesar 60 persen dibanding laki-laki. Koordinator Divisi Partisipasi Masyarakat (DPM) Komnas Perempuan, Ratna Fitriani mengatakan hal itu di Semarang, Kamis, dan menambahkan, namun setelah pihaknya menganalisis lebih lanjut terhadap hasil temuan tersebut, perempuan yang melakukan kekerasan terhadap anak itu sebelumnya juga mengalami tindak kekerasan. Ratna Fitriani yang biasa dipanggil Pipit ini mengatakan, dalam kasus kekerasan itu perempuan tidak bisa disalahkan sepenuhnya karena sang anak yang menjadi korban adalah akibat dari kekerasan sebelumnya yang dilakukan oleh laki-laki (suami). "Ini artinya ada mata rantai dalam kekerasan rumah tangga. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban kita semua untuk memutus mata rantai tersebut," katanya. Menurut Pipit, ketika sang anak terbiasa menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga baik yang dilakukan oleh perempuan (ibu) maupun laki-laki (ayah), maka ada kecenderungan sang anak untuk melakukan hal serupa di masa yang akan datang. Perempuan sendiri, kata dia, harus aktif melawan budaya patriarki yang selalu menempatkan laki-laki sebagai penguasa perempuan yang bisa mengakibatkan munculnya kekerasan dalam rumah tangga. Selama ini perjuangan Komnas Perempuan untuk menyosialisasikan Undang-Undang No.23/2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dan Undang-Undang N0.23/2002 tentang perlindungan terhadap anak tidak hanya melalui cara-cara konvensional, seperti brosur-brosur dan seminar. Selain itu, Komnas Perempuan juga melakukan kampanye melalui pendekatan ruang budaya. Pipit menjelaskan, pendekatan ini dilakukan agar pemahaman KDRT masyarakat lebih meningkat, khususnya mereka yang berada di desa-desa. Ia mencontohkan, pendekatan yang dilakukan misalnya melalui wayang kulit, upacara-upacara adat, dan lain sebagainya yang sesuai dengan kebudayaan masyarakat setempat. Namun, ia mengatakan, walaupun pendekatan ini dilakukan dengan beragam cara, tetapi isi pesan yang disampaikan tetap tentang masalah kekerasan terhadap perempuan. "Pesan disampaikan dengan bahasa-bahasa yang `membumi` dengan disertai contoh-contoh sederhana sehingga mudah dicerna dan dipahami," katanya.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007