"...kenaikan suku bunga, dapat menimbulkan masalah bagi pasar negara-negara berkembang yang mendorong pertumbuhan permintaan minyak turun"
Singapura (ANTARA News)- Harga minyak naik pada perdagangan Senin, karena pengeboran Amerika Serikat (AS) untuk produksi baru menurun.
Selain itu pasar juga melihat kondisi-kondisi yang lebih ketat ketika sanksi-sanksi Washington terhadap ekspor minyak mentah Iran dimulai pada November.
Minyak mentah berjangka AS, West Texas Intermediate (WTI), berada di 67,96 dolar AS per barel pada pukul 01.50 GMT, naik 21 sen AS atau 0,3 persen, dari penutupan terakhirnya.
Patokan internasional, minyak mentah berjangka Brent naik 30 sen AS atau 0,4 persen, menjadi diperdagangkan di 77,13 dolar AS per barel.
Perusahaan-perusahaan energi AS mengurangi dua rig pengeboran minyak pekan lalu, sehingga total menjadi 860 rig, perusahaan jasa energi Baker Hughes mengatakan pada Jumat (7/9).
Jumlah rig AS mengalami stagnasi sejak Mei, setelah mengalami pemulihan sejak 2016, mengikuti kemerosotan tajam tahun sebelumnya di tengah jatuhnya harga minyak mentah.
Di luar Amerika Serikat, sanksi-sanksi baru AS terhadap ekspor minyak mentah Iran mulai November membantu mendorong harga.
Konsultan energi FGE mengatakan, beberapa pelanggan utama Iran seperti India, Jepang dan Korea Selatan sudah mengurangi kembali minyak mentah Iran.
"Pemerintah bisa bicara keras. Mereka dapat mengatakan bahwa mereka akan membela Trump dan/atau mendorong untuk keringanan-keringanan (sanksi). Tetapi umumnya perusahaan yang kami ajak bicara ... mengatakan bahwa mereka tidak akan mengambil risiko," kata FGE.
"Hukuman finansial dan hilangnya jaminan pengiriman membuat semua orang takut," katanya dalam sebuah catatan kepada kliennya.Demikian yang dikutip dari laporan Reuters.
Dengan aktivitas rig AS yang menurun dan sanksi-sanksi terhadap Iran semakin dekat, prospek pasar minyak semakin ketat.
"Investor sebagian besar telah berubah positif lagi ... kemungkinan menyambut kembalinya backwardation (pembelian kontrak berjangka dengan harga lebih rendah dari biaya kontrak dengan penyerahan aset)," kata Edward Bell, analis komoditas di bank Emirat NBD.
backwardation menggambarkan pasar di mana harga untuk pengiriman segera lebih tinggi daripada harga untuk pengiriman kemudian. Hal ini dianggap sebagai tanda kondisi yang ketat memberikan insentif kepada pedagang untuk segera menjual minyak daripada menyimpannya.
backwardation Brent antara Oktober tahun ini dan pertengahan 2019 saat ini sekitar 2,20 dolar AS per barel.
Sementara Washington memberikan tekanan pada negara-negara lain untuk menyesuaikan juga memotong impor dari Iran, pihaknya juga mendesak produsen utama lainnya untuk menaikkan produksi mereka agar tidak menciptakan lonjakan harga yang terlalu kuat.
Menteri Energi AS Rick Perry akan bertemu rekan-rekannya dari Arab Saudi dan Rusia masing-masing pada Senin dan Kamis (13/9), ketika pemerintahan Trump meminta eksportir dan produsen terbesar dunia untuk mempertahankan kenaikan produksi mereka.
Satu pertanyaan penting ke depan adalah bagaimana permintaan meningkat di tengah-tengah sengketa perdagangan antara Amerika Serikat dan China, serta pelemahan di pasar negara-negara berkembang.
Baca juga: Senin pagi, kurs rupiah melemah tipis jadi Rp14.828
Konsultan FGE memperingatkan bahwa "Perang dagang, dan terutama kenaikan suku bunga, dapat menimbulkan masalah bagi pasar negara-negara berkembang yang mendorong pertumbuhan permintaan minyak turun."
Meskipun demikian, FGE mengatakan kemungkinan penurunan harga minyak secara signifikan relatif rendah karena Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) akan mempertahankan produksi mereka untuk mencegah harga-harga jatuh.
"Kami melihat 65 dolar AS per barel sebagai pemicu untuk pemotongan (produksi)," kata FGE.
Baca juga: Kurs dolar stabil di tengah kemungkinan eskalasi perang dagang AS-Cina
Pewarta: Apep Suhendar
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2018