Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah membantah anggapan bahwa poligami dilakukan untuk menghindari terjadinya perceraian. Dalam sidang uji materiil UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis, Pemerintah yang diwakili oleh Dirjen Bimas Islam Departemen Agama, Nasyaruddin Umar, menyajikan data yang menunjukkan poligami justru menjadi salah satu penyebab utama perceraian. Menurut catatan dari Pengadilan Agama di seluruh Indonesia, pada 2004, kata Nasyaruddin, terjadi 813 perceraian akibat poligami. Pada 2005, angka itu naik menjadi 879 dan pada 2006 melonjak menjadi 983. "Data-data ini menunjukkan poligami justru melanggengkan dan menyebabkan perceraian. Poligami jadi penyebab utama bubarnya suatu perkawinan," kata Nasyaruddin. Poligami pun, lanjut dia, juga menyebabkan terlantarnya perempuan dan anak-anak. Syarat ijin istri yang harus diperoleh seorang pria untuk berpoligami seperti yang diatur dalam UU Perkawinan, kata Nasyaruddin, dimaksudkan untuk menghindari dampak buruk akibat poligami. UU Perkawinan, lanjut dia, sama sekali tidak menutup pintu untuk berpoligami. Namun, hanya mengatur syarat-syaratnya. Pengadilan Agama, jelas Nasyaruddin, sampai saat ini cukup banyak mengeluarkan ijin berpoligami, yang menunjukkan bahwa UU Perkawinan masih membuka jalan bagi seorang pria untuk memiliki istri lebih dari satu sepanjang memenuhi syarat yang telah ditentukan. Pada 2004, Pengadilan Agama mengeluarkan 800 ijin poligami dari 1016 permohonan. Pada 2005, 803 ijin dari 989 permohonan, dan pada 2006 776 ijin dari 1148 permohonan. Sementara itu, ahli dari Pemerintah, Quraish Shihab, menjelaskan tujuan perkawinan menurut Islam adalah agar seseorang mendapatkan ketenangan. Apabila seseorang menginginkan di luar itu, lanjut dia, maka sudah tidak lagi sesuai dengan tujuan perkawinan. Menurut dia, UU Perkawinan yang tetap membuka jalan bagi poligami, namun dengan syarat yang ketat, sudah sejalan dengan ajaran Islam. Ahli lain dari Pemerintah, Hujaemah T Yanggo, menjelaskan, sesuai dengan tafsir Imam Syafii, poligami hanya boleh dilakukan apabila seorang pria dapat berlaku adil dan mampu untuk menghidupi istri-istrinya. Ia juga mengutip data Biro Pusat Statistik (BPS) dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tentang perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan. Saat ini, kata Hujaemah, jumlah laki-laki sebanyak 50,2 persen, sebanding dengan jumlah perempuan sebesar 49,2 persen. Berdasarkan data itu, katanya, poligami yang seringkali dikatakan dilakukan untuk mengatasi jumlah perempuan yang lebih banyak dari laki-laki, sama sekali tidak beralasan. "Dari jumlah perempuan yang 49,2 persen itu, banyak didominasi oleh janda cerai dan yang ditinggal mati suaminya. Jadi, kalau mau poligami, lebih baik dengan janda-janda itu, jangan dengan perempuan belum menikah," tuturnya. Uji materiil UU Perkawinan diajukan oleh M Insa, yang menganggap pasal-pasal yang mengatur syarat untuk berpoligami seperti harus ada ijin istri dan Pengadilan Agama, merugikan hak konstitusionalnya guna beribadah dan membentuk keluarga melalui poligami yang sah. (*)
Copyright © ANTARA 2007