Jakarta (ANTARA News) - Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Profesor Budyatna berpendapat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Joko Widodo masih sangat tinggi, meski nilai tukar rupiah terhadap dollar AS melemah.

"Kondisi 1998 dan saat ini sangat berbeda jauh. Dulu terjadi krisis moneter, saat ini tidak. Sekarang, tingkat kepercayaan terhadap Pemerintahan Jokowi masih sangat tinggi, sedangkan 1998, kepercayaan terhadap Soeharto begitu anljok," kata Budyatna dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu. Beberapa hari lalu rupiah sempat melemah melewati Rp15.000 per dolar AS namun kembali menguat.

Ia menilai tingginya kepercayaan kepada Jokowi tidak lepas dari kinerja pemerintahan yang memang baik serta sikap antikorupsi Presiden Jokowi.

Menurut dia, berbagai prestasi yang ditorehkan Presiden Jokowi, terutama dalam pembangunan infrastruktur, menunjukkan bahwa Pemerintah memang fokus pada kerja.

"Jokowi orang yang jujur, tidak korupsi. Uangnya dipakai untuk membangun. Itu yang membuat kepercayaan kepada Pemerintah masih sangat tinggi," ucapnya.

Tingginya kepercayaan terhadap Jokowi, jelas Budyatna, memang bertolak belakang dengan kondisi yang dialami Soeharto pada saat krisis 1998. Ketika itu korupsi terjadi dalam lingkar dalam (inner circle) Soeharto, termasuk para kroni dan anak-anaknya.

Bahkan, anak-anak Soeharto yang semuanya terjun ke dunia bisnis, menurut Budyatna, sudah terbiasa meminjam uang dari bank dan tidak mengembalikan.

Rendahnya kepercayaan terhadap Soeharto juga ditandai dengan mundurnya 14 menteri bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Ekuin).

Sementara itu, pengamat ekonomi Universitas Mulawarman (Unmul) Aji Sofyan Effendi, juga mengatakan hal senada, bahwa pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS saat ini dinilai berbeda jauh dibandingkan 1998.

"Jauh berbeda. Dari berbagi indikator makro, saat ini kondisi kita jauh lebih kuat dibandingkan 1998 sehingga sama sekali tidak mengkhawatirkan," kata Aji.

Fundamental ekonomi era Soeharto, menurut Aji, sangat rapuh. Buktinya, ketika pelemahan menimpa mata uang negara-negara Asia Tenggara, hanya Indonesia yang tidak bisa bangkit.

Sedangkan Singapura dan Malaysia cepat bangkit, termasuk Baht Tahiland yang mengalami pelemahan cukup parah.

"Indonesia sendiri pada 1998, jangankan recovery. Pelemahan nilai tukar rupiah justru merembet pada krisis yang sangat kompleks. Mulai krisis moneter, hingga krisis kepercayaan dan krisis politik yang menyebabkan Soeharto tumbang," tuturnya.

Bertolak belakang dengan 1998, fundamental ekonomi Indonesia yang dibangun Pemerintahan Jokowi sangat kuat, sehingga tidak mungkin merembet ke krisis moneter apalagi krisis kepercayaan kepada pemerintah.

Dua indikator makro terkait kuatnya fundamental ekonomi Indonesia saat ini, kata Aji, adalah pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,2-5,3 persen, sedangkan inflasi juga bagus, di bawah lima persen.

"Pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi adalah indikator terpenting. Ibarat manusia, keduanya adalah jantung. Dan karena masih kuat, dipastikan bahwa kondisi Indonesia masih sangat aman," katanya.

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018