"Persoalan kebebasan berekspresi bukan suatu yang mutlak, tetapi masalah kadar. Sebebrapa bebas kita dalam berekspresi dalam ruang-ruang tertentu," kata Hilmar saat diskusi "Peran Masyarakat dan Polri dalam Pemajuan Seni dan Pelaksanaan UU Pemajuan Kebudayaan", di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa .
Dia mengatakan kebebasan berekspresi adalah suatu yang diperjuangkan dan tidak akan tumbuh begitu saja karena adanya undang-undang.
Menurut dia selama ini masyarakat tidak mendapat pola yang jelas tentang kadar kebebasan berekspresi, bisa saja satu waktu masyarakat dapat bebas berekspresi tetapi di waktu yang lain dapat dilarang.
Dia mengatakan secara konstitusi pada pasal 28 UUD 1945 telah dijamin bahwa kebebasan berekspresi merupakan hak asasi manusia.
Tak hanya itu, dalam UU No.5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan juga dikatakan kebebasan berekspresi sebagai salah satu syarat memajukan kebudayaan.
"Jadi di dalam UU Pemajuan Kebudayaan cukup jelas amanatnya, kalau tidak ada kebebasan berekspresi maka sulit membayangkan memajukan kebudayaan. Tanpa kebebasan berekspresi maka kita akan kerdil secara kultural," kata dia.
Dia berpendapat sebaiknya kebebasan berekspresi haruslah mampu memilih ruang dan waktu, di ruang mana kadar kebebasan itu mendekati maksimum, dan di ruang mana bertoleransi jauh lebih mempertimbangkan keadaan sosial.
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018