Oleh Michael Siahaan

Keberhasilan Indonesia meraih 31 medali emas, 24 perak dan 43 perunggu di Asian Games XVIII 2018 membelalakkan mata banyak orang, mengingat empat tahun sebelumnya, Indonesia cuma mendapatkan empat emas, lima perak dan 11 perunggu.

Atlet-atlet Indonesia pun menjadi pembicaraan di masyarakat dan seketika menjelma menjadi idola. Atlet yang meraup medali juga mendapatkan bonus lain dari pemerintah berupa uang tunai, kesempatan menjadi aparatur sipil negara dan rumah.

Prestasi tersebut tentu tidak muncul begitu saja. Banyak faktor yang mempengaruhinya. Namun yang dianggap menjadi penentu lancarnya persiapan atlet menuju Asian Games 2018 adalah dipangkasnya hierarki birokrasi program peningkatan prestasi atlet, termasuk soal anggaran.

"Keberadaan Peraturan Presiden terbaru membuat jalur aliran dana terpotong dan langsung diberikan kepada induk organisasi olahraga," ujar Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi, merujuk pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 95 Tahun 2017 tentang Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional.

Regulasi yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada tahun 19 Oktober 2017 itu secara resmi mengakhiri kiprah Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima).

Lembaga itu dibentuk pada tahun 2010 berdasarkan Perpres Nomor 22 tahun 2010 tentang Program Indonesia Emas yang disahkan oleh Presiden Indonesia keenam Susilo Bambang Yudhoyono pada 27 Maret 2010.

Selama berdiri, Satlak Prima memiliki tugas yang luas dalam mempersiapakan atlet untuk berprestasi di ajang internasional, termasuk SEA Games, Asian Games dan Olimpiade.

Mereka memiliki kewenangan untuk mengelola dana dari pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olahraga. Selain itu, Satlak Prima juga satu-satunya pihak yang berhak menyeleksi atlet-atlet terbaik sekaligus menentukan program latihan, uji coba, target medali dan lain-lain.

Hal ini membuat gerak induk organisasi cabang olahraga menjadi terbatas. Tugas mereka dikerucutkan menjadi menominasikan atlet kepada Satlak Prima untuk disaring lebih lanjut, memberikan tenaga ahli dalam persiapan serta menjalankan program yang telah ditentukan Prima.

Ujian pertama atlet-atlet binaan Satlak Prima datang di Asian Games 2010 yang berlangsung di China. Mengirimkan total 214 atlet untuk 26 cabang olahraga, Indonesia meraih empat medali emas, sembilan perak dan 13 perunggu.

Pencapaian itu meningkat bila dibandingkan Asian Games 2006, di mana Indonesia hanya memperoleh dua emas dari total 20 medali yang dikantongi.

Kerja Satlak Prima bersinar cerah pada tahun 2011 kala Indonesia ditunjuk menjadi tuan rumah SEA Games. Kontingen Indonesia sukses menjadi juara umum ketika itu dengan memperoleh 182 emas dari total 476 medali di tangan.

Perihal ini cukup membanggakan karena Indonesia terakhir kali juara umum SEA Games pada edisi tahun 1997.

Sayang, cahaya yang tampak terang pada awalnya tersebut perlahan mulai meredup.


Menurun

Kiprah atlet-atlet Indonesia yang terlihat moncer di bawah program yang ditetapkan Satlak Prima mulai menunjukkan penurunan usai SEA Games 2011.

Di Olimpiade 2012, London, Indonesia tidak berhasil mempertahankan tradisi emas yang berlangsung sejak Olimpiade 1992.

Lalu pada SEA Games 2013 di Myanmar, jumlah medali emas Indonesia menurun drastis dari 182 keping menjadi hanya 64 keping yang membuat Indonesia hanya menduduki peringkat keempat.

Setahun berikutnya, di Asian Games 2014, prestasi atlet Indonesia bertahan di empat medali emas, dari total 20 medali yang berhasil direbut.

Indonesia semakin terpuruk di tahun 2015. Saat itu, di SEA Games yang digelar di Singapura, kontingen Tanah Air cuma sanggup menyumbangkan 47 medali emas bagi negara dan berada peringkat kelima yang menjadi peringkat terburuk Indonesia di SEA Games sejak tahun 2005.

Melihat hasil itu, Imam Nahrawi yang sudah menjabat Menpora memilih untuk menyegarkan susunan pengurus Satlak Prima dengan memasukkan orang-orang baru seperti Ahmad Sutjipto yang menjadi ketua menggantikan Soewarno. Harapannya, prestasi olahraga Indonesia semakin terangkat.

Akan tetapi, Menpora tetap saja gelisah. Dia pun mengusulkan untuk merevisi Perpres Nomor 22 tahun 2010 tentang Program Indonesia Emas dan dikabulkan oleh Presiden Joko Widodo.

Regulasi itu dituangkan lewat Perpres 15/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 22 tahun 2010 tentang Program Indonesia Emas itu ditandatangani Presiden pada 10 Februari 2016.

Isi revisi itu secara umum memangkas eksklusivitas Satlak Prima dengan memasukkan unsur pemerintah ke Ketua Dewan Pelaksana Prima. Selain itu, pemerintah memasukkan Menteri sebagai Penanggungjawab di Organisasi Dewan Nasional Prima yang sebelumnya hanya diisi Dewan Pengarah dan Dewan Pelaksana.

Komposisi ini memulai kiprah dengan menatap Olimpiade tahun 2016, di mana Indonesia kembali meraih sekeping medali emas di Olimpiade, memperbaiki catatan di Olimpiade sebelumnya yang berlalu tanpa satu emas pun.

Sayangnya, masa paling kelam olahraga Indonesia tiba juga, tepatnya di tahun 2017. Kalau SEA Games 2015 dianggap buruk dari sisi prestasi, SEA Games 2017 di Malaysia bahkan lebih buruk lagi.

Ditargetkan meraup minimal 55 medali emas, Indonesia justru pulang dengan 38 medali emas, padahal sudah mengerahkan total 535 atlet.

Melihat itu, pemerintah melakukan evaluasi dan memutuskan untuk membubarkan Satlak Prima yang sudah bekerja selama tujuh tahun. Di tengah kritikan banyak pihak atas keputusan itu karena Asian Games 2018 sudah di depan mata, pemerintah tetap jalan terus.


Bangkit

Perpres 95/2017 tentang Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional lalu diterbitkan pada Oktober 2017 untuk mengeliminasi Satlak Prima dan menyerahkan sepenuhnya program peningkatan prestasi kepada induk organisasi cabang olahraga dan Komite Olimpiade Indonesia (KOI) yang diawasi oleh Menteri Pemuda dan Olahraga.

Dengan demikian, federasi cabang olahraga kembali memiliki wewenang penuh untuk menyeleksi atlet, menyusun program latihan, uji coba, menetapkan target, hingga pengelolaan anggaran.

Induk organisasi cabang olahraga pun berhak menerima anggaran dari pemerintah yang sesuai dengan anggaran yang mereka ajukan.

Dengan sistem seperti inilah persiapan atlet menuju Asian Games 2018 berjalan. Memang tidak berjalan sempurna, tetapi setidaknya memberikan kebebasan bagi setiap cabang olahraga untuk mengembangkan kemampuan atletnya hingga ke titik maksimal.

Keputusan itu disambut baik oleh kalangan atlet dan pelatih yang berkompetisi di Asian Games 2018.

"Sistem yang dibuat oleh pemerintah ini yang terbaik karena induk organisasi cabang olahraga diberikan kemudahan dari awal untuk mengelola sendiri programnya," kata pelatih tim nasional bola basket putra Indonesia Fictor Roring.

Hal senada juga diungkapkan pelatih panjat tebing Indonesia Hendra Basir. Hendra mengaku sangat merasakan perbedaan usai turunnya Perpres Nomor 95 tahun 2007.

"Indikator paling nyata, dahulu teman-teman atlet harus menunggu beberapa bulan untuk mendapatkan misalnya satu atau dua pasang sepatu. Namun kali ini saya berani minta tujuh sepatu untuk Asian Games 2018," tutur Hendra.

Dan, seperti yang kita semua tahu, atlet-atlet Indonesia tampil sangat baik di Asian Games 2018 dengan merebut 31 medali emas, 24 medali dan 43 perunggu yang menjadi pendapatan medali emas terbanyak Indonesia di Asian Games sejak pertama kali berpartisipasi pada tahun 1951.

Hasil itu tidak lepas dari torehan emas perdana Asian Games bagi Indonesia di beberapa cabang, yakni taekwondo melalui Defia Rosmaniar di nomor poomsae individual putri, dayung (nomor ringan delapan putra), angkat besi (Eko Yuli Irawan nomor -62 kg putra) serta sepak takraw (nomor quadrant putra).

Selain itu sejumlah atlet juga mengakhiri puasa emas di cabang maupun nomor masing-masing, seperti Tiara Andini Prastika dan Khoiful Mukthib yang menyudahi puasa emas balap sepeda sejak 1962 lewat kemenangan masing-masing di nomor downhill MTB putra dan putri.

Kemudian, pasangan ganda campuran Christopher Rungkat-Aldila Sutjiadi sukses meraih emas demi membuka puasa emas tenis Asian Games sejak 2002 serta emas ganda campuran tenis pertama sejak 1990.

Karateka Indonesia Rifki Ardiansyah Arrosyid juga menyudahi puasa emas karate Asian Games bagi kontingen Indonesia berusia 16 tahun, dengan menyabet emas nomor kumite 60 kg.

Yang paling populer dan tentunya menyita banyak perhatian lewat selebrasinya adalah Jonatan Christie, yang sukses mengakhiri penantian 12 tahun emas tunggal putra bulu tangkis Asian Games.

Catatan-catatan itu tentu terasa manis dirasakan rakyat Indonesia. Meski demikian, persoalannya sekarang bagaimana mempertahankan "rasa manis" itu di turnamen-turnamen internasional berikutnya.

Semoga Indonesia bisa.

Pewarta: ANTARA
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2018