Salah satu tantangan yang terbesar yakni terkait dengan biaya. Dimana pemerintah katanya harus bisa mensikronisasikan antara biaya investasi di sektor EBT yang rendah, dengan affordability atau kemampuan masyarakat supaya energi itu bisa terjangkau.
"Disisi lain, energi itu kan juga tergantung pada pasar. Artinya biaya investasi dan sebagainya itu diatur oleh pasar. Ketika pasar bilang naik, ya naik," kata Surya di acara Indo-EBTKE ConEx ke-7 di Balai Kartini, Jakarta, Rabu.
Selain itu, pengembangan EBT di Indonesia katanya juga masih terkendala pada teknologi, yang diperlukan untuk mengkonversi dari sumber daya menjadi energi. Dan untuk mengembangkan teknologi yang mengkonversi tersebut butuh dana yang tidak sedikit.
"Teknologi konversi energi terbarukan itu kan juga ada yang baru, ada yang tidak. Nah sesuatu yang baru itu kan biasanya biayanya lebih tinggi. Oleh karenanya, ini merupakan tantangan yang sangat besar," ujarnya.
Maka dari itu, Surya sangat berharap agar pihak pemerintah bisa segera menemukan solusi yang terbaik untuk mewujudkan kemerdekaan energi di Indonesia pada masa yang akan datang.
"Sisi pengembangan yang dilakukan oleh pasar juga tidak bisa tanpa pengaturan pemerintah. Energi terbarukan ini memang betul-betul memerlukan kebijakan dan peran pemerintah. Tidak bisa 100 persen dilepaskan kepada masyarakat," tutur dia.
Ditempat yang sama, Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla (JK) juga menyampaikan bahwa kebutuhan energi di Indonesia meningkat kira-kira 12 persen setiap tahun. Saat ini, pemerintah pun tengah berupaya mencari terobosan baru untuk menciptakan energi bersih, berkelanjutan, dan memiliki harga terjangkau sehingga menarik minat para investor untuk menanamkan modal di sektor EBT.
"Apalagi masyarakat saat ini ingin punya AC, TV, mesin cuci. Pemerintah akan segera mencari terobosan baru. Terobosan yang ingin dicapai agar mempunyai energi yang bersih, sustainable dan konstan harganya," ucap JK.
Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2018