Kondisi alam yang membuat kami sulit mewujudkan target emas, kurang dapat diprediksi untuk terbang,

Bogor, (ANTARA News) - Siapa yang tak kenal Puncak, Bogor, Jawa Barat, setiap akhir pekan selalu dipadati pengujung wisatawan yang harus kuat sabar menghadapi kemacetan.

Alamnya nan indah, hijau dan teduh, hamparan kebun teh nan memesona, bukit yang menjulang dari kaki Gunung Gede Pangrango, dibalut cuacanya yang sejuk. Menasbihkan tempat ini sebagai arena Paralayang Asian Games 2018 untuk pertama kalinya.

Tapi entah mengapa, Puncak begitu garang ketika 112 atlet Paralayang dari 18 negara yang berlaga saling berebut enam emas, perak dan perunggu di Asian Games termegah yang pernah ada.

Jepang, Korea, Nepal, tiga negara Asia yang memiliki pilot kelas dunia ini pun tunduk mengakui cuaca di Puncak adalah kendala terberat dan tersulit yang mereka hadapi selama bertandingan.

Selama 12 hari, sebanyak 15 babak mereka lalui dengan cuaca kadang bagus, kadang kurang bersahabat, pagi cerah, tiba-tiba siang berawan, suhu stabil, angin pun berhembus pelan, tetapi itu semua menyulitkan mereka mencari thermal atau menghindari turbulensi.

Yoshiki Kuremoto pilot kelas dunia asal Jepang bersama empat rekannya berhasil mengoleksi satu emas di nomor Lintas Alam (cross country / XC) beregu putra.

Jepang yang begitu yakin bisa merebut dua emas Lintas Alam terpaksa puas dengan perolehan satu emas dan satu perak Paralayang Asian Games.

"Kami sangat senang ada di sini (Puncak-) kami memang menargetkan emas di nomor Lintas Alam, tetapi ternyata tidak mudah. Karena negara lain juga sangat-sangat kuat," kata pilot berusia 40 tahun ini.

Yoshiki banyak mengikuti kejuaraan dunia Lintas Alam, namanya cukup dikenal di kalangan atlet Paralayang, bertanding di Asian Games Puncak, baginya sesuatu yang menantang.

Paralayang di Puncak, Bogor menjadi arena tersulit yang pernah dihadapinya bersama rekan senegaranya yakni Takuo Iwasaki, Taro Kamiyama, Yoshiaki Nakagawa, dan Yoshiaki Hirokawa.

"Kondisinya sangat berbeda, anginnya, suhu panas lalu dingin, berawan, sangat menantang, berbeda sekali dengan arena, yang sering kami gunakan latihan di Jepang," kata Yoshiki.

Impian Jepang untuk mengumpulkan emas kedua di nomor Lintas Alam beregu putri harus kandas, setelah pilot Atsuko Yamashita mengalami insiden gagal mendarat di babak pertama, hingga tulang pergelangan tangannya patah.

Tim putri Jepang harus berjuang menyelesaikan pertandingan. Empat babak tersisa berhasil diselesaikan secara sempurna oleh Keiko Hirarki dan Nao Mochizuki.

Kerja sama dua pilot senior ini mampu menaklukkan tiga pilot muda Indonesia Lis Andriana, Rike Ayu Wulandari, dan Rika Wijayanti yang harus puas meraih perak.

Tim official Jepang, Yoshiki Oka mengatakan, kondisi di Puncak berbeda dan sangat menantang, baik dari cuacanya, dan anginnya. Hal ini membuat mereka kesulitan mendapat kondisi yang bagus.

"Kami menargetkan dua emas di Lintas Alam, tapi kami hanya dapat satu. Tapi kami puas dengan hasil ini. Di sini aku rasa tempat yang baik untuk berlatih," kata Yoshiki.

Tim nasional Nepal datang dengan penuh percaya diri dapat mengukir sejarah Paralayang di Asian Games yang pertama. Mereka menargetkan emas, dengan penuh keyakinan.

Nepal menurunkan lima pilot putra andalannya, Bimal Adhikari, Bijay Gautama, Sushil Gurung, Bishal Thapa, dan Yukesh Gurung pilot termuda berusia 19 tahun yang jadi idola selama pertandingan.

Tetapi Nepal harus mengakui keunggulan tim nasional Jepang yang meraih emas di Lintas Alam beregu putra, dan puas mengantongi satu perak.

"Nepal tempat yang bagus untuk terbang, dan kami datang ke sini untuk mendapatkan emas, tapi kalah lagi dari Jepang," kata Bimal Adhikari.

Kondisi cuaca yang tidak bisa diprediksi membuat pilot Nepal kesulitan. Walau mereka semua unggul di Lintas Alam.

"Kondisi alam yang membuat kami sulit mewujudkan target emas, kurang dapat diprediksi untuk terbang, kami akan mencoba lagi di kompetisi berikutnya," kata Bimal.

Di tengah kesulitan mewujudkan target emas, tim Nepal mengaku puas hanya membawa satu perak di nomor Lintas Alam beregu putra.

Bagi Bimal, kehadiran Paralayang di Asian Games adalah sejarah baru, dan mereka sangat terkesan dengan keramahan penyelenggara dan para relawan maupun warga sekitar.

"Dan sangat mengejutkan tim Indonesia cukup dikenal, juga sangat ramah," kata Bimal.

Si cantik da Gyeom Lee pilot tangguh asal Korea Selatan ini juga menemukan pengalaman sama sulitnya dengan pilot putra saat harus menundukkan cuaca di Puncak.

Baginya terbang di Puncak sangat berat tantangannya, terlalu banyak awan, kadang panas, lalu tiba-tiba mendung, sehingga perlu perjuangan untuk mendapatkan Thermal.?

"Kami kesulitan untuk terbang terlalu tinggi," katanya.

Ini bukan yang pertama Lee berkompetisi di Indonesia, kejuaraan seperti world cup series, dan Asian Beach Games juga pernah diikutinya, Batu, Bali dan Puncak.

"Indonesia sangat indah, sangat baik, dan keren," kata Lee.

Bagi tuan rumah sendiri, cuaca di Puncak boleh dikatakan kurang bisa diajak bekerja sama. Hening Paradigma, atlet putra penyumbang emas pertama di nomor Ketepatan Mendarat beregu putra, mengakui hal itu.

"Untuk bisa terbang dengan baik kita harus mendapatkan udara yang stabil," katanya.

Udara yang stabil itu, memiliki panas yang cukup, kecepatan angin yang stabil dan suhu yang pas, tidak terlalu dingin dan tidak terlalu panas.

Pada saat nomor Ketepatan Mendarat berlangsung, udara di Puncak, panas terik. Kondisi ini menyebabkan panas permukaan tanah yang mengangkat udara dari bawah sehingga menyebabkan thermal.

Kondisi ini, di mana pilot harus mendarat tepat di PAD (titik nol) tetapi harus berhadapan dengan thermal yang membuat parasut kembali mengangkat. Dan jika dipaksakan mendarat akan mengakibatkan stall atau parasut kehilangan daya angkut.

Situasi ini menyebabkan beberapa pilot banyak mengalami stall seperti pilot dari China, Afghanistan, Jepang, dan Mongolia.

"Kalau mau mendapatkan hasil yang bagus di nomor ketepatan mendarat dibutuhkan angin yang konstans, kalau perlu tidak ada angin," katanya.

Sedangkan pada saat nomor Lintas Alam (XC) cuaca Puncak berubah 180 persen dari pertandingan sebelumnya, kembali ke wujud aslinya yang berkabut dan gelap (mendung).

"Jadi cuaca itu ketukar, harusnya cuaca di lintas alam cocok untuk ketepatan mendarat, dan cuaca di waktu ketepatan mendarat cocok untuk lintas alam," kata Hening.*


Baca juga: Indonesia buktikan masuk tiga besar lintas alam paralayang

Baca juga: Sukses Asian Games Paralayang bersiap masuk Olimpic

Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018