Terdakwa dan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti mengetahui bahwa piutang petambak udang yang digunakan Sjamsul Nursalim sebagai aset pengurang kewajiban yang dijanjikan adalah macet, karena itu Sjamsul dianggap telah melakukan misrepresentasi
Jakarta (ANTARA News) - Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menilai bahwa mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan (BPPN) Syafruddin Arsyah Temenggung bukan pelaku tunggal sehingga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp4,58 triliun karena tidak ada penghapusan piutang Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).
"Bahwa perbuatan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung dan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti yang telah mengalihkan aset piutang petambak udang/obligor Sjamsul Nursalim dari divisi litgasi ke divisi penjualan aset Analisis Manajemen Keuangan (AMK) berarti telah mengubah status Sjamsul Nursalim yang sebelumnya sebagai obligor tidak kooperatif menjadi obligor kooperatif. Padahal sebelumnya Sjamsul Nurslaim beberapa kali menolak dan tidak mau melaksanakan surat keputusan KKSK," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Amir Nurdianto di pengadian Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Dalam perkara ini Syafruddin Arsyah Temenggung dituntut 15 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Sebelumnya Syafruddin adalah Sekretaris KKSK sejak Desember 2000 sekaligus Deputi di Kementerian Koordinator bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) yang dijabat oleh Dorodjatun Kuntjoro-Djakti yang juga menjadi ketua KKSK.
"Terdakwa dan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti mengetahui bahwa piutang petambak udang yang digunakan Sjamsul Nursalim sebagai aset pengurang kewajiban yang dijanjikan adalah macet, karena itu Sjamsul dianggap telah melakukan misrepresentasi," ungkap jaksa Amir.
BDNI milik Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim adalah salah satu bank yang dinyatakan tidak sehat dan harus ditutup saat krisis moneter pada 1998. BDNI mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian "Master Settlement Aqcuisition Agreement" (MSAA).
Baca juga: KPK cegah enam orang terkait perkara BLBI
BPPN menentukan Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) per 21 Agustus 1998 memiliki utang (kewajiban) sebesar Rp47,258 triliun yang terdiri dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp35,6 triliun dan sisanya adalah simpanan pihak ketiga maupun letter of credit.
Sedangkan aset yang dimiliki BDNI adalah sebesar Rp18,85 triliun termasuk di dalamnya utang Rp4,8 triliun kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) milik Sjamsul Nursalim yang awalnya disebut Sjamsul sebagai piutang padahal sebenarnya adalah utang macet (misrepresentasi).
Dari jumlah Rp4,8 triliun itu, sejumlah Rp1,3 triliun dikategorikan sebagai utang yang dapat ditagihkan (sustainable debt) dan dibebankan kepada petambak plasma dan yang tidak dapat ditagihkan (unsustainable debt) sebesar Rp3,5 triliun yang dibebankan kepada Sjamsul sebagai pemilik PT DCD dan PT WM berdasarkan keputusan KKSK pada 27 April 2000 yang dipimpin Kwik Kian Gie.
Namun berdasarkan keputusan KKSK pada 29 Maret 2001 yang dipimpin Rizal Ramli, utang yang dapat ditagih menjadi Rp1,1 triliun dan utang tidak dapat ditagih menjadi Rp1,9 triliun berdasarkan kurs Rp7000/dolar AS. Sjamsul tetap menolak membayarkan utang tersebut.
Padahal sejak Mei 2002, Syafruddin menerima laporan dari Tim Bantuan Hukum (TBH) perihal pemenuhan kepatuhan Sjamsul Nursalim dalam pemenuhan kewajibannya terhadap MSAA sejak September 1998 yang menyatakan kredit kepada petambak adalah kredit macet yang intinya GT (Gadjah Tunggal) Group atau Sjamsul Nursalim didasarkan bahwa kredit plasma adalah lancar tapi setelah dianalisis ternyata adalah aset macet sehingga mengurangi secara signifikan kewajiban Sjamsul Nursalim untuk menyerahkan aset kepada BPPN berdasarkan MSAA.
Sjamsul diduga tidak pernah mengungkapkan kredit yang diberikan ke petambak plasma saat itu adalah kredit yang telah macet atau punya punya potensi macet yang ditanggung PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandiri (WM)
Baca juga: KPK tahan Syafruddin Arsyad Temenggung
Dalam rapat 21 dan 29 Oktober 2003 di BPPN yang dipimpin oleh Syafruddin dan dihadiri jajaran Deputi BPPN bersama perwakilan Sjamsul Nurslaim yaitu istrinya Itjih S Nursalim, Mulyati Gozali dan auditor Ernst and Young yang hasil rapat itu adalah Syafruddin sepakat dengan Itjih Nursalim bahwa Sjamsul Nursalim tidak melakukan misrepresentasi terhadap utang petambak PT DCD dan PT WM.
Keputusan tidak ada misrepresentasi itu karena ada laporan dari Ketua Divisi AMI BPPN Taufik Mappaenre Maroef mengenai apakah Sjamsul sudah menyampaikan mengenai utang-piutan PT DCD dan WM dengan petani plasma.
"Sehingga terdakwa menyimpulkan bahwa tidak ada misrepresentasi yang dilakukan oleh Sjamsul Nursalim padahal terdakwa menginsyafi bahwa ada laporan dari tim bantuan hukum yang menyatakan Sjamsul Nursalim melakukan misrpersentasi," tambah jaksa.
Selanjutnya dalam rapat terbatas kabinet pada 11 Feb 2004, Sjafruddin melaporkan kepada Presiden Megawati Sukarnoputri bahwa utang petambak Rp3,9 triliun sedangkan yang bisa dibayar adalah Rp1,1 triliun dan sisanya Rp2,8 triliun diusulkan "write off" (penghapusbukuan) dan juga akan ada penghapusbukuan di BPNN tapi tidak melaporkan bahwa aset yang diserahkan Sjamsul terdapat misrepresentasi.
"Atas laporan terdakwa Presiden tidak mengeluarkan putusan dan tidak memberikan dukungan terhadap permintaan terdakwa tapi keesokan harinya pada 12 Februari 2004 terdakwa mengirimkan ringkasan eksekutif BPPN kepada Dorodjatun Kuntjoro-Jakti selaku Ketua KKSK yang mengusulkan agar KKSK memutuskan penghapusan porsi utang 'unstainable' petambak plasma sebesar Rp2,8 triliun didasarkan para rapat kabinet terbatas dan Dorodjatun Kuntjro-Jakti juga menyetujuinya padahal rats tidak pernah mengambil keputusan penghapusan porsi utang petambak tersebut," jelas jaksa.
Sehingga pada 12 APril 2004, Syarfuddin dan Itjih Nursalim menadnatangani akta perjanjian penyeleisaan akhir yang menyatakan pemegang saham telah melaksanakan seluruh kewajibannya sebesar Rp28,408 triliun.
Atas tuntutan itu, Sjafruddin akan mengajukan nota pembelaan (pledoi) pada 13 September 2018.
Baca juga: Syafruddin Temenggung dituntut 15 tahun penjara
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2018