Jakarta (ANTARA News) - Indonesia sudah menjadi negara pembuang emisi terbesar ketiga setelah Amerika Serikat dan China dengan jumlah emisi yang dibuang mencapai 3.014 MtCO2e. Hal itu dikatakan Pakar Lingkungan Prof Dr Emil Salim dalam orasi pengangkatannya sebagai Perekayasa Utama Kehormatan bidang Teknologi Lingkungan dan Kebumian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Jakarta, Selasa. Sayangnya, jika AS dan China menjadi pembuang emisi terbesar masing-masing total sebesar 6.005 dan 5.017 MtCO2e akibat pemanfaatan energi fosil secara besar-besaran, sumber emisi Indonesia adalah kebakaran hutan. "Akibat kebakaran hutan ini Indonesia melepas emisi sampai 2.563 MtCO2e, sementara dari energinya Indonesia hanya membuang emisi 275 MtCO2e, dari pertanian sebesar 141 dan dari limbahnya 35 MtCO2e, sehingga total emisi 3.014 MtCO2e," katanya. Di peringkat keempat negara pembuang emisi terbesar adalah Brazil sebesar 2.316 MtCO2e yang kondisinya mirip di Indonesia di mana sebagian besar sumber emisinya adalah permasalahan hutan. Di peringkat lima dan enam terbesar pembuang emisi adalah Rusia disusul India yang masing-masing menyumbang emisi 1.745 dan 1.577 MtCO2e yang sumbangan terbesarnya berasal dari pemanfaatan energi fosilnya. Dalam Konvensi Perubahan Iklim 1992 yang ditandatangani 154 Kepala Negara disepakati stabilisasi konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer pada tingkat yang bisa mencegah intervensi anthropogenic pada sistem iklim bumi. Pada Kyoto Protokol yang operasional pada 1997 ditargetkan pengurangan emisi global ke tingkat 5,2 persen di bawah emisi Gas Rumah Kaca (GRK) 1990 untuk dicapai negara-negara maju pada 2012. Karena itu dibangun mekanisme perdagangan emisi, implementasi bersama dan mekanisme pembangunan bersih (CDM). Di sini negara maju mengurangi emisi GRK dengan membangun proyek penyerap karbon di negara berkembang. "Negara berkembang yang membangun belakangan ini tidak wajib mengurangi emisi atau menyerap karbon, malahan mereka bisa menawarkan proyek-proyek penyerap karbon dengan imbalan dari negara maju, meski kesepakatan ini ditentang oleh AS dan Australia," katanya. Indonesia pada 2008-2012, ujarnya, bisa menawarkan 24 juta ton CO2e per tahun dari sektor energi dan 23 juta ton CO2e per tahun dari sektor kehutanan, di mana harga karbon sekitar 1,5-5,5 dollar AS per ton CO2e per tahun.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007