"Kebijakan fiskal penting terutama kenaikan tarif pajak impor agar bisa menekan impor tersebut"
Pontianak (ANTARA News) - Pemerintah harus segera merealisasikan kebijakan fiskal, khususnya di bidang impor, yang telah diumumkannya untuk menahan pelemahan rupiah yang telah menyentuh di atas kurs Rp14.600 per dolar AS.
"Pemerintah saat ini sudah bekerja dan satu di antaranya dalam hal kebijakan fiskal. Untuk kebijakan fiskal sudah direncanakan. Namun hal itu harus segera direalisasikan agar anjloknya rupiah bisa ditekan," kata akademisi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tanjungpura, Pontianak, Prof Dr Eddy Suratman SE MA, di Pontianak, Kalimantan Barat, Minggu.
Ia menyebutkan rencana kebijakan fiskal yang akan diambil pemerintah yakni terkait kebijakan kenaikan tarif impor. Hal itu mengingat saat ini neraca perdagangan Indonesia defisit atau nilai impor lebih besar daripada ekspor.
"Kebijakan fiskal penting terutama kenaikan tarif pajak impor agar bisa menekan impor tersebut. Tentu dalam kebijakan yang ada nanti harus memperhatikan komoditas apa saja yang harus dinaikkan tarifnya agar tidak menganggu industri dalam negeri. Sebab impor yang ada kebanyakan untuk barang modal atau kebutuhan industri dalam negeri," papar dia.
Menurut dia, anjloknya rupiah saat ini tidak terlepas dari faktor eksternal dan internal. Untuk eksternal karena Amerika Serikat (AS) akan menaikan suku bunganya, sehingga memicu dolar AS kembali. Kemudian pada saat yang sama juga saat ini terjadi perang dagang antara Tiongkok dan AS.
"Belum lagi sekarang terjadi juga krisis di Turki dan Argentina. Argentina sudah meminjam lagi ke IMF senilai 50 miliar dollar AS seperti sebelumnya yang tidak begitu lama. Argentina saat ini juga menaikan suku bunganya 60 persen. Hal tersebut tentu mempengaruhi perekonomian berbagai negara termasuk Indonesia," papar dia.
Baca juga: Jumat pagi rupiah melemah, bertengger di Rp14.630
Sementara, kata Eddy, untuk pengaruh internal yang menyebabkan anjloknya rupiah karena neraca perdagangan di Indonesia defisit seperti tergambar pada Juli 2018 mencapai 2 miliar dollar AS. Baca juga: BPS: Neraca perdagangan Juli defisit 2,03 miliar dolar
"Defisit neraca perdagangan menandakan impor lebih besar daripada ekspor. Dengan impor berarti kita banyak mengeluarkan devisa negara dan pada sisi ekspor rendah. Sehingga kebutuhan dolar AS tinggi sehingga menekan nilai tukar Rupiah," jelas dia.
Pada sisi lain Bank Indonesia (BI), lanjut Eddy, juga sudah bekerja untuk mengatasi gejolak ekonomi Indonesia dengan menaikan suku bunga menjadi 5,5 persen.
"BI tentu sudah bekerja dan terus memantau kondisi yang ada. Kembali persoalan ini bukan hanya diselesaikan dengan kebijakan moneter tetapi fiskal. Rencana yang ada harus segera direalisasikan. Semoga kondisi ini segera diatasi dan nilai rupiah dan ekonomi Indonesia terus membaik," harapnya.
Baca juga: Darmin: pelemahan rupiah terpengaruh kondisi Argentina
Pewarta: Dedi
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2018