Jaakarta (ANTARA News) - Tim Advokasi Korban Penangkapan Densus 88 akan melayangkan surat protes kepada Mahkamah Agung (MA), terkait tidak dipahaminya prosedur gugatan perwakilan kelompok (class action) oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. "Menurut saya ada kesalahan prosedur dalam hukum acara yang dilakukan majelis hakim. Untuk itu kita akan ajukan protes kepada Mahkamah Agung," kata salah satu anggota Tim Advokasi Korban Penangkapan Densus 88, Munarman, setelah sidang penetapan gugatan pembubaran Densus 88 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa. Dalam sidang penetapan itu, majelis hakim memutuskan surat gugatan pembubaran Densus 88 tidak memenuhi syarat formal gugatan perwakilan kelompok, sehingga gugatan harus dihentikan. Majelis hakim menilai surat gugatan pembubaran Densus 88 tidak menyebut secara rinci korban penangkapan, mekanisme ganti rugi, dan kesamaan fakta hukum dari korban penangkapan. Menurut Munarman, sikap majelis menyalahi ketentuan Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2002 tentang acara gugatan perwakilan kelompok. Dalam peraturan itu, kata Munarman, majelis hanya berhak membuat penetapan sebelum perkara memasuki pokok materi. Surat protes yang akan disampaikan kepada MA dua hari kedepan itu, katanya, akan ditujukan kepada Ketua Muda bidang Yudisial dan Ketua Muda bidang Pengawasan. Surat tersebut juga akan memuat rekomendasi agar dilakukan pelatihan kembali kepada hakim, sehingga benar-benar memahami mekanisme gugatan perwakilan kelompok. "Mereka membuat training lah paling tidak, agar hakim di pengadilan negeri paham tentang prosedur dan mekanisme class action itu," kata Munarman. Sebelumnya, Tim Advokasi Korban Penangkapan Densus 88 menggugat pasukan antiteror itu karena dianggap telah melanggar pasal 28 UUD 1945 dan melanggar UU Nomor 5 tahun 1998 tentang Antipenyiksaan. "Kita minta Kapolri (Jenderal Polisi Sutanto, red) membubarkan Densus 88," kata Munarman. Ia menjelaskan, pasal 28 i UUD 1945 menyebutkan hak untuk tidak disiksa, baik secara fisik maupun mental, adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non- derogable rights -red). Densus 88, katanya, melakukan pelanggaran karena telah melakukan kekerasan fisik dan mental dalam melakukan penangkapan tersangka terorisme. Densus juga telah melakukan pelanggaran HAM berat karena telah memenuhi tiga ketegori dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Kategori pertama, tindakan Densus dilakukan secara sistematis dan terencana. Kategori kedua, terjadi penyiksaan terhadap orang yang dituduh teroris dan itu dilakukan secara meluas di semua wilayah dari Poso sampai Jakarta. Sedangkan kategori ketiga adalah tindakan Densus ditujukan pada penduduk sipil. "Dari tindakan Densus, setidaknya korbannya sudah mencapai hampir 500 orang sampai sekarang ini (tahun 2001-2007 -red) baik yang diproses dan tidak diproses," katanya. (*)
Copyright © ANTARA 2007