Yangon (ANTARA News) - Angkatan Bersenjata Myanmar pada Jumat membebaskan 75 anak dan pemuda dari dinas militer, kata Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pembebasan itu dilakukan di tengah kemarahan dunia internasional menyangkut dugaan pelanggaran hak asasi manusia militer dalam beberapa konflik yang masih berlangsung di negara itu.
Myanmar saat ini telah membebaskan 924 calon tentara di bawah umur sejak menandatangani rencana aksi bersama, soal prajurit di bawah umur, dengan badan-badan PBB pada Juni 2012, kata Knut Ostby, koordinator kemanusiaan PBB untuk Myanmar dan June Kunugi, perwakilan dana anak-anak PBB, dalam pernyataan bersama.
Pembebasan itu merupakan "perkembangan positif berikutnya dalam upaya pemerintah mengakhiri dan mencegah perekrutan serta pemanfaatan anak-anak di dalam Tatmadaw," kata mereka.
Baik militer, yang dikenal sebagai Tatmadaw, maupun kelompok-kelompok gerilyawan etnis yang diperanginya selama berpuluh-puluh tahun telah dimasukkan ke dalam daftar hitam PBB karena memanfaatkan anak-anak sebagai tentara.
Amerika Serikat mencabut Myanmar dari daftar pelanggar terburuk menyangkut tentara anak-anak pada 2017 namun memasukkannya lagi tahun ini, demikian Reuters melaporkan.
Tatmadaw dan tujuh kelompok lainnya "`masih menjadi pelaku dalam perekrutan dan pemanfaatkan anak-anak di Myanmar," kata PBB.
Para juru bicara militer dan pemerintah Myanmar belum dapat dimintai komentar.
Baca juga: Militer Myanmar ganti jenderal penanggung jawab Rakhine
Militer Myanmar dikecam dunia internasional atas pelanggaran hak asasi manusia, termasuk dengan merekrut anak-anak sebagai tentara selama setengah abad pemerintahan militer.
Dugaan pelanggaran itu telah berlanjut ke tingkat militer Myanmar kendati sudah ada peralihan di negara itu, dari pemerintahan militer ke pemerintahan sipil yang dipimpin peraih hadiah Nobel Aung San Suu Kyi pada 2016.
Di negara bagian Rakhine di barat, militer telah melancarkan tindakan keras sebagai tanggapan atas serangan-serangan yang dilakukan sekelompok pemberontak Muslim Rohingya sejak 2016. Karena kekerasan itu, ratusan ribu warga Rohingya mengungsikan diri ke negara tetangga Myanmar, Bangladesh.
Pada Senin, para penyelidik yang diberi mandat PBB menuduh kepala militer Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, menaungi pergerakan dengan "niat melakukan pemusnahan suku" terhadap kaum Rohingya. Para penyelidik merekomendasikan agar Hlaing dan sejumlah pejabat tinggi lainnya diadili.
Mahkamah Pidana Internasional sedang mempertimbangkan apakah pihaknya memiliki wewenang atas kejadian-kejadian di Rakhine.
Sementara itu, Uni Eropa dan Kanada telah menjatuhkan sanksi terhadap para pejabat militer dan kepolisian Myanmar terkait tindakan keras terhadap Rohingya.
Editor: Tia Mutiasari
Pewarta: Antara
Editor: Mohamad Anthoni
Copyright © ANTARA 2018