Sekretaris Jenderal Aptri Nur Khabsyin di Jakarta, Jumat, menyebutkan peredaran gula rafinasi itu telah melanggar Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 117 tahun 2015 dan Pasal 9 ayat 2.
"Yaitu gula rafinasi hanya diperdagangkan atau didistribusikan kepada industri dan dilarang untuk diperdagankan ke pasar dalam negeri," katanya.
Pihaknya sangat berharap agar pelaku tindak pidana tersebut dapat diproses secara hukum sesuai aturan yang berlaku dikarenakan sangat merugikan pihak petani.
Perdagangan gula rafinasi menyebabkan kekacauan distribusi nasional secara bertahun-tahun sampai dengan saat ini.
Lokasi penjualan gula yang hanya diperbolehkan untuk industri itu berada di Pontianak, Kalimantan Barat, Banjarmasin, Kalimantan Timur, Tengerang, Banten serta Bogor dan Cianjur, Jawa Barat.
Ia mengaku laporan ke polisi atas nama Aptri itu, merupakan yang ketigakalinya. "Laporan sebelumnya bahkan sampai ke persidangan," tandasnya.
Ia menyebutkan kerugian yang ditimbulkan adanya peredaran gula rafinasi dan gula impor bagi petani dalam 2 tahun terakhir ini mencapai angka Rp2 triliun.
"Karena gula petani tidak laku karena pasar dibanjiri gula rafinasi dan gula impor," tegasnya.
Berdasarkan data Aptri, persediaan gula konsumsi (GKP) tahun 2018 sangat berlebih rinciannya, sisa stok tahun lalu 1.000.000 ton, rembesan gula rafinasi 800.000 ton dan impor GKP tahun 2018 1.200.000 ton, serta tambahan impor GKP 2018 1.100.000 ton.
Kemudian produksi tahun 2018 2,100.000 ton. Hal itu berarti total ada gula GKP 6,200.000 ton. Sedangkan kebutuhan GKP tahun ini 2,7 - 2,8 juta ton, sehingga ada kelebihan gula 3,5 juta ton.
Baca juga: Bareskrim tangkap tersangka kasus distribusi gula rafinasi
Baca juga: Bareskrim ungkap penyimpangan distribusi gula rafinasi
Pewarta: Riza Fahriza
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2018