Jakarta (ANTARA News) - Kualitas dan kuantitas sperma yang rendah bisa menjadi salah satu penyebab pasangan sulit mendapatkan keturunan.

Spesialis obstetri dan ginekologi dari Perhimpunan Fertilisasi In Vitro (PERFITRI), Prof. Dr.dr. Budi Wiweko, Sp.OG (K), MPH, mengatakan jumlah sperma normal yakni di atas 15 juta per cc. Namun, karena ada gangguan maka jumlahnya bisa menurun bahkan hingga 0.

"Azoosperma itu 0 spermanya. Bisa karena gangguan produksi, di testisnya tidak memproduksi sperma. Lalu gangguan distribusi, produksinya bagus tetapi salurannnya terhambat. Misalnya seperti orang yang distrelisasi, vasektomi," tutur dia dalam seminar media mengenai "Proses Bayi Tabung (IVF) sebagai Pilihan Terapi Masalah Kesuburan" di Jakarta, Kamis .

Sebanyak 90 persen gangguan produksi sperma itu karena idiopatik yang disebabkan faktor genetika. Jika hal itu terjadi, tidak ada cara untuk mengoreksinya.

"Ada gen di kromosom Y, gen itu memberikan sinyal kepada testis untuk memproduksi sperma. Biasanya kalau ada gangguan di gen itu, tidak bisa dikoreksi lagi," tutur Budi.

Namun, bila gangguan produksi disebabkan sumbatan, maka masih ada peluang memperbaikinya karena dokter akan mencari letak sumbatan lalu melepasnya.

Pada kasus lain, gangguan juga bisa karena masalah di salah satu bagian otak yakni hipotalamus.

"Atau karena gangguan produksi sperma karena gangguan di hipotalamus, gangguan sinyal di otak. Diberikan sinyal buatan, dengan suntik hormon. Jumlahnya (kasus ini) sedikit, 10-15 persen," ujar Budi.

Pasangan bisa disebut tak subur bila gagal memperoleh kehamilan (istri) setelah 12 bulan atau lebih melakukan hubungan seksual minimal 2-3 kali seminggu secara teratur tanpa menggunakan alat kontrasepsi.

Bayi tabung

Budi mengatakan, masalah gangguan sperma yang menyulitkan pasangan mendapatkan keturunan bisa diatasi dengan proses bayi tabung (In Vitro Fertilization atau IVF).

"35 persen bayi tabung dikerjakan atas indikasi gangguan sperma, antara lain karena produksi sperma sangat sedikit misalkan di bawah 5 juta per cc. Normalnya kan di atas 15 juta. Kalau di bawah 5 juta per cc atau 1 juta itu bayi tabung," kata dia.

Namun, ada indikasi lanjutan yang menjadi hambatan pada prosedur bayi tabung seperti volume testis sangat kecil, testosteron sangat rendah--biasanya tidak ada sperma. Bila begini, prosedur bayi tabung jelas tidak bisa dilakukan.

Spesialis Obstetri dan Ginekologi, SekJen PERFITRI, Dr. Ivan Sini, GDRM, MMIS, FRANZCOG, Sp.OG menjelaskan, pada tahap awal, dokter akan mengevaluasi ada tidaknya indikasi khusus pasien harus menjalani bayi tabung.

"Misalnya karena saluran mampet kami anjurkan pasien menjalani IVF. Lalu, masalah sperma sedikit, endometriosis atau kista cokelat pada perempuan, dan usia," tutur dia.

Dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi, sekaligus SekJen PERFITRI, Dr. Ivan Sini, GDRM, MMIS, FRANZCOG, Sp.OG. (ANTARA News/Lia Wanadriani Santosa)

Selain itu, ada sejumlah kondisi yang juga harus dokter periksa yakni surat nikah (karena proses bayi tabung di Indonesia harus dilakukan pasangan sah), bukan diajukan oleh pasangan sesama jenis, bukan orangtua tunggal, prosedur IVF bukan untuk donor dan bukan untuk pasangan yang sudah meninggal.

"Harus ada tanda tangan pasien (dan suami) agar paham proses yang akan dilalui. Prosesnya biasanya 1 bulan. Awalnya stimulasi ovarium, dokter akan melihat apakah sperma cukup. Kalau cukup, tinggal mencemplungkan sperma ke sel telur dalam cawan petri, supaya terjadi pembelahan," papar Ivan.

"Di laboratorium akan dipantau sampai embrio siap ditanamkan ke rahim. Embrio bagus diperkirakan bisa berpotensi kehamilan," sambung dia.

Budi menuturkan menurut data dari PERFITRI pada 2017 menunjukkan bahwa program IVF memiliki tingkat keberhasilan mencapai 29 persen. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan ini adalah faktor usia.

"Tingkat keberhasilan program bayi tabung dapat mencapai 40 persen apabila dilakukan di bawah usia 35 tahun. Perempuan yang lebih muda biasanya memiliki telur yang lebih sehat dan tingkat keberhasilan yang lebih tinggi," tutur dia.

Perlu diingat, program IVF bukan tanpa komplikasi. OHSS bisa menjadi salah satunya. OHSS adalah kumpulan gejala yang terjadi ketika ovarium (indung telur) bereaksi berlebihan terhadap obat sehingga menghasilkan terlalu banyak kantung telur.

Selain itu ada risiko kehamilan kembar (karena risiko bayi lahir prematur lebih tinggi) dan infeksi.

"OHSS sekitar 2 persen, kehamilan kembar 17 persen dan infeksi," kata Ivan.

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2018