Dili (ANTARA News) - Mantan PM Timor Leste Mari Alkatiri, Senin, mendesak pasukan Australia yang kini berada di negara itu agar pulang karena mereka tidak netral. Desakannya itu dibuat ketika media lokal melaporkan pasukan Australia telah menyita dua bendera partai Fretilin dalam satu protes di distrik Baucau, akhir pekan lalu. "Akan lebih baik bagi pasukan Australia pulang jika mereka tidak bisa netral," kata Alkatiri kepada wartawan seperti dikutip AFP. Para anggota parlemen datang bekerja di parlemen untuk pertama kali sejak pemerintah baru diumumkan awal bulan ini. Semula partai itu, yang menegaskan pemerintah baru itu tidak sah, mengatakan mereka akan memboikot. Fretilin meraih suara terbanyak dalam pemilihan parlemen akhir Juni, tapi tidak memiliki mayoritas mutlak yang diperlukan untuk memerintah. Satu pemerintah koalisi yang dibentuk oleh pahlawan kemerdekaan Xanana Gusmao yang juga mantan presiden itu memiliki 37 kursi di parlemen yang beranggotakan 65 orang itu, diminta membentuk satu pemerintah baru oleh presiden, yang memicu kemarahan para pendukung Fretilin. Aksi kekerasan sporadis meletus di ibukota Dili dan beberapa distrik, dan sebagian besar dipersalahkan pada mereka yang mendukung bekas partai yang berkuasa itu. "Mereka datang ke sini untuk membantu kita menyelesaikan masalah-masalah kita, tapi mereka datang untuk memberikan dukungan mereka kepada satu pihak dan memerangi pihak lainnya," kata Alkatiri, yang secara efektif dipaksa mundur di tengah-tengah aksi kekerasan di Dili tahun lalu yang menewaskan 37 orang. "Mereka lebih baik pulang karena mereka tidak netral." Alkatiri menyebut penyitaan bendera-bendera itu satu "provokasi" dan menuduh pasukan Australia mengintimidasi para pendukung Fretilin beberapa kali. Sekitar 3.000 tentara Australia tiba di sini ditengah-tengah aksi kekerasan April dan Mei tahun lalu atas permintaan Dili, dan sebagian besar masih di sini. Mereka telah melakukan patroli-patroli bersama dengan pasukan keamanan dari beberapa negara lain termasuk Malaysia, Selandia Baru dan Portugal, serta polisi PBB.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007