Jakarta (ANTARA News) - Presidium Rakyat Menggugat menyatakan mosi tidak percaya kepada para penegak hukum terkait vonis Meiliana dalam kasus penodaan agama di Tanjung Balai, Medan, Sumatera Utara.
"Mosi tidak percaya ini karena saudara kita mengalami perbedaan hukum," kata Koordinator PRM Tirta Yasa saat konferensi pers di Gedung Joang 45 Jakarta, Rabu.
Menurut dia, pihaknya menyuarakan hal ini bukan berbicara masalah mayoritas-minoritas, perbedaan agama dan suku, melainkan ingin menggapai keadilan di hadapan hukum.
Dia juga menegaskan bahwa PRM tidak berafiliasi dengan partai politik maupun kelompok mana pun.
Salah satu Tim Kuasa Hukum Meiliana, Arthur Rumimpun mengatakan bahwa dalam suatu penegakan hukum tentu punya alasan untuk keadilan dan dinikmati oleh seluruh rakyat.
Arthur menilai Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara, yang memvonis 18 bulan penjara kepada Meiliana karena protes pengeras suara adzan merupakan permasalahan yang pelik.
Dia menilai putusan pengadilan itu harus bebas dan independen serta tidak tertekan pihak mana pun. Jika terjadi putusan seperti itu, kata Arthur, pihaknya wajib mengkritisi agar terwujud keadilan bagi semua pihak.
Sedangkan anggota Tim Kuasa Hukum lainnya, Ranto Wardhana, menilai mayoritas kasus penodaan agama divonis tidak sesuai dengan kenyataan apa yang dilakukan.
Dia mengungkapkan bahwa kebanyakan pelaku melakukan tidak sengaja. Menurut dia perlu ada solusi untuk menyelesaikan agar kasus semacam Meiliana tidak terulang lagi.
Untuk itu, kata Ranto, pihaknya menyatakan mosi tidak percaya kepada polisi dan jaksa.
Menurut Ranto, sebaiknya kasus penodaan agama ini diselesaikan di luar pengadilan atau diselesaikan secara musyawarah. Kalaupun masuk polisi dan jaksa, katanya, seharusnya penegak hukum ketika menerima laporan harus disertai bukti sudah melalui proses musyawarah.
PRM juga menyatakan mosi tidak percaya kepada Mahkamah Agung karena tidak menindak tegas hakim yang memutus yang dinilai masih disusupi kepentingan kelompok sehingga mencoreng badan peradilan, kata Ranto.
Dia juga menilai Komisi Yudisial sebagai lembaga seperti macan ompong karena tidak bisa menindak tegas hakim-hakim yang melanggar kode etik.
PRM juga mengatakan Kementerian Hukum dan HAM serta Kementerian Agama seharus juga memberikan solusi berbagai kasus penondaan agama yang selama ini terjadi.
Ranto berharap dua kementerian ini harus mencarikan jalan keluar atas kasus-kasus penondaan agama.
Baca juga: DPR sayangkan putusan pengadilan terkait Meiliana
Baca juga: Komnas HAM: Kasus Meiliana bukan penistaan agama
Pewarta: Joko Susilo
Editor: Sigit Pinardi
Copyright © ANTARA 2018