Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Agung memberhentikan sementara hakim ad hoc tindak pidana korupsi Merry Purba dan panitera pengganti Pengadilan Negeri Medan Helpandi karena ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan suap terkait perkara yang ditanganinya di PN Medan.
"Untuk hakim ad hoc MP (Merry Purba) dan panitera pengganti H (Helpandi) kami lakukan pemberhentian sementara, tunjangan tidak dibayar hanya gaji pokok saja sampai putusan berkekuatan tetap maka langsung diberhentinkan tetap," kata Wakil Ketua MA non-Yudisial sekaligus Plt Ketua Badan Pengawasan MA Sunarto di Gedung KPK Jakarta, Rabu.
Merry Purba diduga menerima senilai total 280 ribu dolar Singapura (sekitar Rp3 miliar) dari pemilik PT Erni Putra Terari Tamin Sukardi melalui perantaraan Helpandi terkait dengan perkara korupsi yang dilakukan Tamin, yaitu korupsi lahan bekas hak guna usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II.
Tamin menjual 74 hektare dari 126 hektare tanah negara bekas HGU PTPN II kepada PT Agung Cemara Realty (ACR) sebesar Rp236,2 miliar dan baru dibayar Rp132,4 miliar.
Berdasarkan putusan yang dibacakan 27 Agustus 2018, Tamin dihukum enam tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan dan uang pengganti Rp132 miliar.
Vonis itu lebih ringan dibanding tuntutan jaksa yang meminta Tamin divonis 10 tahun pidana penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan dan uang pengganti Rp132 miliar.
KPK pada Selasa (28/8) melakukan Operasi Tangkap Tangan di Kota Medan, yaitu terhadap Tamin Sukardi selaku pemilik PT Erni Putra Terari, staf Tamin bernama Sudarni, panitera pengganti PN Medan Helpandi, hakim ad hoc Pengadilan Tipikir Medan Merry Purba, wakil ketua PN Medan yang bertindak sebagai ketua majelis Wahyu Prasetyo Wibowo, Ketua PN Medan Marsuddin Nainggolan, hakim PN Medan Sontan Merauke Sinaga, dan panitera pengganti PN Medan Oloan Sirait.
"Yang lain tidak berani kami untuk melakukan pemberhentian sementara," tambah Sunarto.
Menurut Sunarto, tim badan pengawas juga sudah memeriksa Ketua Pengadilan Tinggi Medan mengenai fungsi pengawasan yang ia lakukan terhadap PN Medan.
"Tim badan pengawas telah melakukan memeriksaan ke ketua pengadilan tingkat banding, tapi kami tidak bisa sembarangan mencopot. Harus mengetahui apakah yang bersangkutan sudah melakukan pembinaan dan pengawasan sebagai pimpinan dan kami mendapat informasi dari tim di sana pembinaan oleh ketua PT (Pengadilan Tinggi) itu dilakukan 16 Juli, 3, 8, 13, 23, 27 Agustus 2018 sebelum ditangkap," jelas Sunarto.
Artinya, menurut Sunarto, pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh PT Sumut sudah dilaksanakan.
"Tapi ini menyangkut karakter, kalau belum mendapat hidayah Tuhan susah untuk berubah, terpaksa kami harus selesaikan urusan-urusan begini, jangan sampai parasit jadi badan peradilan," tambah Sunarto.
Penangkapan hakim di lingkungan pengadilan Sumut sebenarnya sudah terjadi berulang. Pada 2015, KPK memproses hukum Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan Tripeni Irianto Putro, hakim PTUN Amir Fauzi, Dermawan Ginting, serta panitera pengganti PTUN Medan Syamsir Yusfan.
Selain itu KPK juga masih memproses 38 anggota DPRD Sumatera Utara yang menjadi tersangka suap anggota DPRD Sumut periode 2009-2014 dan 2014-2019.
"Nanti kami rancang dengan teman-teman MA apakah pendampingan di tempat-tempat rawan akan dilakukan. Pendampingan ke pengadilan negeri memang belum pernah dilakukan dan terhadap pengadilan negeri KPK tidak punya target khusus," kata Ketua KPK Agus Rahardjo.
Sebagai tersangka penerima adalah hakim ad hoc Tipikor Merry Purba dan panitera pengganti Helpandi sebagai tersangka penerima suap dengan sangkaan Pasal 12 huruf c atau huruf a atau Pasal 11 UU No 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal itu menyebut mengenai hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Sedangkan sebagai tersangka pemberi adalah Tamin Sukardi dan orang kepercayaan Tamin bernama Hadi Setiawan dengan sangkaan Pasal 6 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 UU No. 31/1999 sebagaimana diubah UU 20/2001 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling kecil Rp150 juta dan paling banyak Rp750 juta.
Tim memberangkatkan tujuh dari delapan orang yang diamankan dalam tiga penerbangan, Sudarni, Helpandi, Tamin Sukardi dan Marsuddin Nainggolan tiba di gedung KPK sekitar pukul 23.30 pada Selasa (28/8).
Hakim Merry Purba tiba di gedung KPK pada Rabu (29/8) sekitar pukul 08.40 WIB dan terakhir Wahyu Prasetyo Wibowo (WBW) dan SMS tiba di gedung KPK sekitar pukul 11.30 WIB.
Baca juga: KPK bawa pejabat PN Medan ke Jakarta malam ini
Baca juga: KY sesalkan hakim PN Medan kena OTT
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Sigit Pinardi
Copyright © ANTARA 2018