Pasar adalah sekolahan. Siapa pun tanpa pandang derajat harus menanyakan harga dan menawar. Pedagang juga berani menawarkan barang,

Kehadiran W.S. Rendra (1935-2009) ke Magelang, Jawa Tengah tak bisa lagi dihitung. Begitu juga, tak terhitung lagi berapa kali sang penyair itu singgah ke Pasar Rejowinangun, pasar tradisional terbesar di pusat kota kecil tersebut.

Dalam catatan Haris Kertorahardjo, murid kepenyairannya di kota itu, sepanjang 2003-2009 Rendra acap ke Magelang untuk hadir dalam berbagai agenda seni budaya.

Hampir setiap ke Magelang, sang penyair disertai Haris ikut berjejal-jejalan di antara aktivitas orang-orang di Pasar Rejowinangun untuk mencapai warung sop senerek "Pak Parto" di salah satu bagian tengah pasar rakyat tersebut.

"Setiap datang (ke Magelang, red.) hampir selalu makan di pasar itu," kata Haris yang dalam Festival Lima Gunung XVII/2018 belum lama ini, meluncurkan kumpulan sekitar 57 puisinya dalam buku berjudul "Matematika: Pinter-Pinter = Goblok". Pada 2008, Rendra menempatkan salah satu julukan kepada Haris yang juga kontraktor dan kolektor barang antik itu, sebagai "penyair matematika".

Pasar Rejowinangun menurut Ketua Komunitas Kota Toea Magelang Bagus Priyana, sudah ada sekitar 1890-an di lokasi bekas benteng pertahanan kolonial Belanda di kota tersebut. Pemerintah kolonial membangun pasar itu untuk menampung para pedagang kaki lima di kawasan Pecinan Kota Magelang dan sejumlah pasar kecil lain di sekitarnya.

Pada 26 Juni 2008, pasar itu terbakar hebat, kemudian dibangun kembali dengan megah melalui proses cukup lama menjadi dua lantai serta diresmikan pada awal 2014, saat periode kedua pemerintahan Wali Kota Sigit Widyonindito.

Dalam catatan Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Rejowinangun Nasiruddin Hadi, sebelum pasar terbakar, terdapat 2.000 pedagang menempati los, 1.000 pedagang lesehan, dan 149 pedagang kios. Setelah dibangun lagi, mereka yang berdagang di pasar itu menjadi 2.500 pedagang los, 2.500 lesehan, dan 200 kios.

Gerai warung makan dengan menu khas senerek masih tetap ada kumandangnya dengan penjualnya ditempatkan di bagian pojok kuliner Pasar Rejowinangun setelah pembangunan kembali.

Tahun lalu, pasar tersebut mendapat Anugerah Pancawara sebagai pasar terbaik nasional, terutama karena sukses dalam inovasi pengelolaan. Penilaian untuk anugerah itu diinisiasi oleh Yayasan Danamon Peduli bekerja sama dengan Majalah Ekonomi SWA.

Hingga saat ini, spanduk besar bergambar Wali Kota Sigit bersama Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Joko Budiyono bersama-sama memegang penghargaan itu, masih terpampang di salah satu pojok jalur kendaraan menuju lantai dua pasar tersebut.

Joko saat ini menjabat Asisten II Sekretaris Daerah Pemkot Magelang dan sedang diisukan sebagai sosok kepemimpinan lapangan yang menjadi salah satu bakal kandidat sekda setempat.

Namun, rencana memindah aktivitas pedagang Pasar Tiban, bertepatan dengan tradisi pengajian Minggu Paing di Masjid Agung Kauman sekitar alun-alun setempat pada 2016, mendapat tentangan para pegiat di kota itu. Wali Kota Sigit mengakomodasi aspirasi kuat pegiat komunitas yang tergabung dalam gerakan kebudayaan Save Paingan.

Sejak 22 Juli hingga 26 Agustus 2018, Yayasan Danamon Peduli menempuh langkah lanjutan atas penghargaan Pancawara 2017 kepada Pasar Rejowinangun. Yayasan itu merengkuh 65 kelompok lintas sektoral, terutama kalangan seniman dan pegiat budaya yang tergabung dalam Forum Komunitas Senibudaya Magelang pimpinan Andritopo Senjoyo, untuk menggelar Festival Pasar Rakyat.

Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemkot Magelang pun merestui festival bertajuk "Terus Kumandang!" yang antara lain berupa aksi sosial bersih sungai di dekat Pasar Rejowinangun, melukis mural di pilar pasar, pameran lukisan dan fotografi di pojok kuliner pasar, pantomim, teatrikal, tur pasar, ruwat pasar, pasar apung, pembacaan puisi dan guritan, performa gerak, pentas tari tradisional, kontemporer, liong, dan pentas musik.

Berbagai lorong pasar digunakan para seniman dan pegiat untuk menghadirkan karya seni dan performa, terutama saat puncak festival pada Minggu (26/8).

Puncak festival, antara lain dihadiri Kepala Subdirektorat Pengelolaan Sarana Distribusi Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan M. Anwar Achmad, Ketua Dewan Pembina Yayasan Danamon Peduli Bayu Krisnamurthi, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemkot Magelang Sri Retno Murtiningsih, dan Ketua Umum Yayasan Danamon Peduli Restu Pratiwi.

Seluruh pementasan dan performa seni menjadi bagian yang berbaur dengan aktivitas jual beli masyarakat di pasar tersebut. Rombongan tamu penting dalam puncak festival pun menjalani sesi tur pasar di berbagai lorong, di mana para seniman menggelar karyanya.

Andretopo menyebut semarak festival tersebut dikemas secara luwes tanpa mengganggu aktivitas jual beli antara pedagang dan masyarakat di Pasar Rejowinangun.

"Pedagang dan pembeli tetap beraktivitas, para pementas menyesuaikan. Kami menjadikan pasar ini menjadi panggung, tidak ada yang diubah, sehingga suasana pasar dan pentas membaur," ujar dia.

Sebut saja misalnya, Haris membacakan puisinya berjudul "Matematika Uang" di salah satu tempat di antara para pedagang pakaian, kelompok musik "Jodokemil" pimpinan Arif Sigit Prasetyo memainkan karya musik kontemporer dengan sejumlah lagu di bawah salah satu tangga pasar, penari liong mementaskan tarian itu di salah satu jalan masuk pasar, satu grup penari pimpinan Lyra dan dua pemain pantomim menjadi cucuk lampah tur pasar setelah mereka menyuguhkan performa tari kreasi berjudul "Pasar Rejowinangun".

Seniman dari Komunitas Kidung Rinonce, Yan Harya Darmista, mengambil tempat di salah satu lorong pasar. Ia membacakan guritan karya Sugito H.S. yang dimuat di Harian Jogja (6 Juli 2008) berjudul "Pasar Wis Ilang Kumandhange" (Pasar sudah hilang keramaian).

"Pasar iku sekolahan. Senajan pangkat sundhul langit, yen tetuku kudu nganyang. Utawa paling ora kudu gelem takon reregan, Senajan drajate mung gedibal pitulikur. Sing jeneng bakul kudu kendel tetawa dagangan ora pandang. Iki cetha sarana sing murah kanggo nggladhi mental supaya bisa srawung ing tataran sosial. Pasar iku welas asih. Barang sing regane seket ewu bisa dadi telung puluh ewu. Mung jalaran bakule welas nyawang kahanane sing tuku. Pasar iku koran murah. Sakabehe kabar ing dina iku bakal diwartakake dening lan marang sapa wae. Pamrihe bisa tulung-tinulung, ayom ingayoman. Pasar iku gapyak. Sing nganggo sepatu, sing sandhalan jepit, lan sing mung cekeran, ditampa tanpa pilah," begitu salah satu bait puisi berbahasa Jawa itu.

Kira-kira terjemahan bebasnya, "Pasar adalah sekolahan. Siapa pun tanpa pandang derajat harus menanyakan harga dan menawar. Pedagang juga berani menawarkan barang. Pasar tempat geladi mental agar manusia bisa bergaul. Pasar penuh belas kasih. Harga barang bisa menjadi sangat murah karena pedagang melihat keadaan pembelinya. Pasar juga koran di mana segala kabar diberitakan kepada siapa saja, supaya bisa saling tolong menolong dan mengayomi. Pasar itu ramah, menerima siapa saja yang berbeda-beda".

Suasana semringah kehidupan pasar menjadi terkesan terasa melalui sentuhan festival tersebut. Kehadiran berbagai pementasan dan performa seni mereka, bahkan terkesan menambah cerah senyuman antara pedagang dan pembeli yang sedang transaksi barang kebutuhan di berbagai lorong pasar.

"Tambah gayeng," ujar seorang juru parkir sepeda motor di dekat pojok kuliner Pasar Rejowinangun.

Oleh karena penyelenggaraan Festival Pasar Rakyat 2018 di Pasar Rejowinangun itu dipandang berhasil menyentuh substansi kepentingan mengumandangkan kehidupan unik dan lokal atas pasar rakyat, Bayu yang juga mantan Wakil Menteri Keuangan itu pun, menghendaki pergelaran tersebut bisa berkelanjutan ditangani forum itu dengan dukungan makin kuat pemkot setempat.

Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemkot Magelang Sri Retno Murtiningsih mengatakan bahwa Festival Pasar Rakyat memberi manfaat dan berkah, baik bagi penghuni pasar maupun masyarakat setempat.

Bayu mengemukakan bahwa pasar rakyat bisa dikumandangkan menjadi tempat di mana pedagang bukan sekadar menawarkan dagangannya akan tetapi juga memberikan pengalaman unik pengunjung untuk berwisata karena nilai-nilai kearifan lokal dan peradaban masyarakat dihadirkan.

Ia membandingkan hal tersebut dengan aktivitas di pasar modern yang lebih mengedepankan simplistis dan efisiensi orang dalam mendapatkan barang kebutuhan karena capaian kesepakatan sudah ditentukan di harga, bukan pada interaksi sosial antarmanusia.

Pasar rakyat, kata dia, sebagai simbol peradaban. Interaksi sosial paling intens terjadi di pasar rakyat.

Apalagi sematan Rejowinangun sejak zaman dahulu sebagai nama pasar tradisional terbesar di Kota Magelang, dirujuk oleh dalang wayang kontemporer Komunitas Lima Gunung Magelang Sih Agung Prasetyo sebagai menggenggam pesan makna membangun kemakmuran bagi masyarakat.

Selayaknya kumandang pasar rakyat terus menerus dihadirkan karena di situlah petunjuk dinamika kemakmuran dan peradaban masyarakat dipaparkan.*


Pewarta: Maximianus Hari Atmoko
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018