Jakarta (Antara News) - Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan sebuah provinsi di Timur Indonesia yang dikarunia keindahan alam yang luar biasa. Pulau Komodo, Danau Kelimutu, Gunung Mutis, merupakan sedikit dari sekian banyak destinasi wisata NTT yang telah mengharu biru di pentas internasional. Meskipun demikian, di balik keharuman nama NTT di sektor pariwisata tersebut, terdapat fakta bahwa NTT merupakan salah satu penyumbang tenaga kerja indonesia (TKI) ilegal terbesar di Indonesia. Menurut data Pemerintah Provinsi NTT, jumlah TKI ilegal asal daerah tersebut mencapai lebih dari 100.000 orang.

Lebih ironisnya lagi, tak sedikit para pahlawan devisa yang hanya pulang nama. Berdasarkan data dari Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Kupang, jumlah TKI yang meninggal mulai 2015 hingga 2017 terus merangkak naik; tahun 2015 sebanyak 28 orang, tahun 2016 naik menjadi 49 orang dan tahun 2017 meningkat pesat menjadi 62 orang. Lebih memilukan, sebagian besarnya adalah TKI korban perdagangan manusia ilegal (human trafficking) yang berasal dari Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT.

Sadar hal ini akan terus terjadi tanpa henti, Ronaldus Asto Dadut, seorang pemuda asal Tambolaka, kabupaten Sumba Barat Daya, tergerak untuk turut berkontribusi memutus rantai tragedi ini dengan mendirikan sebuah organisasi kemanusiaan berbasis kerelawanan yang ia namakan Jaringan Relawan Untuk Kemanusiaan (JRUK). Organisasi ini merupakan wadah generasi muda yang didedikasikan untuk mengedukasi warga pedalaman di Sumba Barat Daya mengenai kesehatan dan perdagangan manusia.

"Permasalahan trafficking di NTT merupakan suatu permasalahan lama yang kurang mendapatkan perhatian pemerintah sehingga keberadaannya tidak begitu nampak di permukaan padahal dalam praktiknya merupakan permasalahan sosial yang pada akhirnya masyarakat, sebagai objeknya, cenderung permisif terhadap potensi kerugian yang ada," ujar pria berusia 26 tahun tersebut.

Asto melanjutkan, masalah perekonomian dan rendahnya tingkat pendidikan, ditambah kurangnya upaya pencegahan dan hukuman bagi para pelaku memuluskan tindak perdagangan manusia di NTT selama bertahun-tahun lamanya. "Semua itu, berakumulasi hingga pada akhirnya jatuh lah banyak korban, tidak hanya meninggal tapi juga tak sedikit yang menjadi depresi saat pulang," ungkapnya.

Bersama JRUK, Asto merancang langkah-langkah untuk mengedukasi masyarakat terhadap bahaya-bahaya perdagangan manusia dalam bentuk pengiriman TKI ke luar negeri. Berikut adalah sejumlah upaya yang telah JRUK lakukan dalam rangka menekan tingkat perdagangan manusia:

- Kegiatan edukasi masyarakat
Setiap akhir pekan, JRUK memberikan edukasi masyarakat di berbagai fasilitas publik seperti sekolah, gereja, masjid dan desa-desa.

- Taman Baca
Sejauh ini, JRUK sudah membangun tujuh taman baca dan pojok baca di sejumlah puskesmas yang dimanfaatkan oleh pasien atau pengantar pasien untuk membaca berbagai hal sambil menunggu layanan kesehatan untuk mereka

- Edukasi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
Edukasi PHBS adalah bagian dari upaya menyadarkan masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan diri dan lingkungan agar aktivitas masyarakat tidak terganggu dengan berbagai penyakit. Edukasi PHBS ini biasanya diakhiri dengan pembagian donasi seperti sabun, sikat gigi, pasta gigi, susu, vitamin dan sebagainya yang merupakan sumbangan dari donatur.

Hingga kini, sebanyak 2.889 anak mendapatkan pembekalan mengenai kebersihan dan kesehatan, dan 5.307 orang dewasa sudah mendapatkan penyuluhan mengenai pencegahan praktik perdagangan manusia.

"Fokus kami untuk mengubah pola pikir masyarakat bahwa masih banyak mata pencaharaian selain menjadi TKI. Namun, jika memang tetap ingin menjadi TKI, kami akan memberikan materi khusus untuk membantu mereka menghindari tindak-tindak perdagangan manusia," tambahnya.

Sejak berdiri pada 2014, lanjut Asto, perjalanan JRUK bukannya tanpa kendala. Mulai dari awal komunitas ini berdiri hingga saat ini, JRUK belum memiliki shelter atau rumah aman yang biasa digunakan untuk pendampingan korban. Selain itu, kurangnya konsistensi sumber daya manusia mengingat hampir 97 persen relawan memiliki telah memiliki pekerjaan masing-masing.

"Puji Tuhan, kami belum pernah mendapatkan ancaman baik berupa kekerasan fisik dan verbal. Namun, justru mendapatkan dukungan dari masyarakat dan tokoh–tokoh agama," tutur lulusan Universitas Nusa Cendana, Kupang, ini.

Atas dedikasi dan perjuangannya, Asto berhasil dinobatkan sebagai penerima Apresiasi Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2017 bidang kesehatan.

Apresiasi diberikan kepada lima anak bangsa atas setiap perjuangan di bidang: Pendidikan, Lingkungan, Kewirausahaan, Kesehatan, Teknologi dan satu Kelompok yang mewakili lima kategori tersebut.

"Ajang ini memberikan ruang untuk anak-anak muda dari daerah karena saya yakin, di luar sana masih banyak anak-anak muda yang memberikan kontribusi luar biasa bagi masyarakat sekitar yang belum terekspos," tukas Asto.

Pada tahun 2018, PT Astra Internasional Tbk kembali menyelenggarakan SATU Indonesia Awards, mengajak generasi muda yang memiliki kepedulian sosial dan lingkungan untuk berpartisipasi memberikan kontribusi yang terbaik bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang program SATU Indonesia Awards 2018, silakan kunjungi website www.satu-indonesia.com.

Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2018