Denpasar (ANTARA News) - Ini bicara soal NU, bukan soal politik praktis, apalagi soal parpol. Ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) berniat kembali memasuki Pilpres 2019 dan menjatuhkan pilihan pada tokoh "puncak" NU KH Ma`ruf Amin (Rais Syuriah PBNU), maka sejumlah asumsi pun menumpuki persoalan itu.
Asumsi-asumsi yang berkembang di luar asumsi Jokowi sebagai capres itu pun bersahut-sahutan dalam dinamika tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang politikus hingga tokoh NU non-politikus, apalagi jejaring media sosial meningkahi asumsi itu dengan begitu liar hingga mirip konflik dengan diri sendiri.
Pantas saja, seorang warganet (netizen) pun menyindir dengan istilah "pilpres" NU. "Saya kira, pilpres Indonesia, ternyata `pilpres NU` ya, karena saya bukan anggota NU, ya saya tidak ikut-ikut," ucapnya.
Nah, agaknya asumsi-asumsi itu menambah kegaduhan yang tidak perlu. Sebut saja, tokoh-tokoh di balik asumsi-asumsi itu antara lain Mahfud MD, Muhaimin Iskandar, Yenny Wahid, KH Said Aqil Sirodj, dan orang-orang di sekeliling mereka.
Celakanya, kegaduhan medsos pun menyeret NU secara jam`iyah (organisatoris) masuk ke dalam "kubangan" liar itu.
Padahal, asumsi-asumsi dan medsos yang "bermain" dalam dinamika mirip konflik dengan diri sendiri itu semakin menjauh dari "faktor X" yang menjadi penyebab sesungguhnya dari kegagalan Prof Mahfud MD hingga "takdir" bergulir kepada sang kiai.
Tidak banyak pihak yang tahu bahwa "takdir" mengarah kepada sang kiai bukan karena rekayasa, apalagi lantas dialamatkan sebagai "kesalahan" sang kiai, sebab semuanya bersumber dari "debat kusir" parpol-parpol pendukung Jokowi hingga injury time.
Nama KH Ma`ruf Amin disodorkan sebagai alternatif yang paling banyak diterima semua pihak, karena saat Presiden Jokowi menyodorkan nama Mahfud MD justru terjadi penolakan dari parpol-parpol pendukung Jokowi dengan 2-3 alasan yang paling kuat, meski Jokowi cenderung ke Mahfud.
Alasan yang disebut-sebut oleh sebuah sumber adalah sosok Mahfud MD itu menjadi "ancaman" pasca-Pilpres bagi eksistensi tiga-empat parpol, lalu sosoknya juga dianggap berpotensi menjadi "capres" pasca-Jokowi, dan sosoknya pun mengkhawatirkan karena "berani" dan "tahu" hukum dan konstitusi.
Walhasil, penolakan terhadap Mahfud MD memojokkan Jokowi dalam posisi terancam tidak bisa mencalonkan diri dan "takdir" pun mengarah ke KH Ma`ruf Amin (konon, disodorkan politikus NU) yang akhirnya diterima semua parpol pendukung Jokowi, sehingga Jokowi pun harus menerimanya.
Artinya, pilihan Jokowi jatuh kepada sang kiai bukan datang dengan tiba-tiba dan karena rekayasa pihak tertentu, karena sesungguhnya pilihan Jokowi kepada Mahfud MD sudah "hampir pasti" dan Mahfud MD pun sudah "dipersiapkan" untuk deklarasi. Hal itu dibenarkan Mahfud MD sendiri.
Namun, "parpol besar" menolak Mahfud MD dengan berbagai alasan dan sosok sang kiai-lah yang menjadi "kata sepakat" dari parpol-parpol pendukung.
Soal asumsi politis selebihnya hanya ibarat bumbu penyedap untuk meracik masakan menjadi gurih, kendati Jokowi tidak terlibat di dalamnya.
Baca juga: Bursa cawapres, PKB: Mahfud tidak representasikan NU
Oleh karena itu, debat kusir dengan setumpuk asumsi liar seputar pencalonan sang kiai itu menjadi tidak relevan dengan fakta yang sudah terjadi, apalagi "faktor X" sesungguhnya lebih mirip "takdir" yang mengarah kepada sosok sang kiai. Faktor sebenarnya hanya Jokowi yang tahu.
Namun, asumsi liar itu tidak perlu segaduh itu bila ada "tabayyun" (klarifikasi) langsung kepada Jokowi dan ada "kebijakan" menyikapi ujaran media sosial, sehingga mendidik masyarakat, karena karakter capres (kompetensi, kejujuran, komitmen) justru lebih penting daripada asumsi liar yang menyulut "permusuhan" antar-pelempar asumsi itu akibat kebencian di antara mereka.
Dalam konteks NU, ormas keagamaan yang diperkirakan mewadahi 91 juta warga masyarakat itu tidak berada dalam posisi menyodorkan (minta) cawapres, namun NU dalam posisi ditawari, sehingga posisi NU dalam konteks Khittah NU cukup "aman". Itulah mungkin yang disebut dengan "Takdir NU".
Faktanya, penetapan orang NU sebagai cawapres itu justru terjadi saat injury time dan inisiatif bukan dari NU, karena paginya masih belum ada nama sang kiai, tapi KH Said Aqil, KH Ma`ruf Amin, dan Muhaimin Iskandar justru baru dipanggil secara terpisah menjelang siang.
Jokowi dalam posisi terpojok, karena parpol pendukung saling menolak cawapres yang disodorkan pihak lain. Pada detik-detik terakhir itulah, Jokowi menjadi sangat mandiri dalam bersikap dan dia justru melihat "potensi" NU, sehingga dipanggillah KH Ma`ruf Amin, KH Said Aqil, dan Muhaimin Iskandar. Prabowo juga menghadapi nasib serupa, hingga "tiba-tiba" muncullah Sandiaga Uno.
Baca juga: NU usulkan islah nasional di hadapan Prabowo
Ancaman NU-NKRI
Lantas apakah NU berpolitik? Faktanya, NU tidak meminta jabatan itu. Kalau pun pilihan jatuh pada NU, maka NU bisa menjalankan mekanismenya sendiri yakni menaikkan Wakil Rais Syuriah (KH Miftachul Akhyar) sebagai Plt Rais Syuriah untuk menggantikan KH Ma`ruf Amin.
Fakta lain, KH Said Aqil Sirodj juga terbukti tetap menjaga netralitas NU dengan menerima "tamu" Capres Prabowo Subianto dan Cawapres Sandiaga Uno. Artinya, NU tetap dalam koridor Khittah NU, meski ada calon yang "diambil" dari NU langsung yakni sang kiai.
Namun, satu "pekerjaan rumah" adalah netralitas itu juga dikembangkan pengurus NU dalam kapasitas sebagai pribadi, karena bila ketua umum NU mendukung capres tertentu dalam kapasitas pribadi atau kelembagaan/NU pun, maka sama saja dengan tidak bersikap netral dan bahkan bisa terkesan "memanfaatkan" NU, karena "pribadi" dan "ketua umum" adalah posisi yang menyatu.
Batasan Rais Syuriah atau Ketua Umum sebagai pengurus dan sebagai pribadi itu berada dalam batas yang tipis, karena itu siapa pun yang menjadi "orang nomer satu" di lingkungan NU hendaknya menahan diri dalam menyampaikan dukungan dalam kaitan politik praktis agar tidak "merusak" Khittah NU. Dalam konteks ini, Komisi Politik (Komisi "Maslahah Ammah") bagi NU menjadi gagasan penting.
Terlepas dari asumsi yang berkembang dan "takdir" yang mengarah kepada sang kiai, agaknya dialektika yang berkembang di tubuh NU dapat dipahami dengan merujuk buku "NU dan Islam Indonesia" oleh pakar NU Prof Dr M Ali Haidar dari FISIP Universitas Negeri Surabaya (Unesa).
Menurut Ali Haidar, dialektika di tubuh NU itu dapat dipahami dari logika berpikir NU yakni logika fiqih. Logika fiqih (hukum Islam) itu sangat fleksibel sesuai dengan situasi yang berkembang, kecuali untuk prinsip-prinsip Islam yang sudah baku, seperti sholat, zakat, puasa, haji, dan "kewajiban" lain.
Dalam bidang sosial-kemasyarakatan, perbedaan itu berkembang dari waktu ke waktu, bahkan KH As`ad Syamsul Arifin dari Situbondo pernah "mufarroqoh" (memisahkan diri dari barisan yang ada) dengan Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Saat itu, Kiai As`ad menganggap Gus Dur sebagai imam yang batal, sehingga makmum bisa memisahkan diri. Tidak hanya itu, ratusan kiai pun pernah "mengadili" Gus Dur, karena cucu pendiri NU itu mendirikan LSM "Forum Demokrasi" yang mengkritisi pemerintah Orde Baru.
Dalam pandangan Ali Haidar, hal yang menarik dari NU adalah perbedaan pendapat yang terjadi itu sama-sama didasari dengan argumentasi yang sama yakni untuk kepentingan agama, termasuk perubahan sikap NU dari waktu ke waktu juga menggunakan argumentasi kepentingan agama.
"Argumentasi ushul fiqh yang dipegang kukuh NU itu antara lain dar`u al-mafasid muqaddam `ala jalb al-mashalih (menghindarkan keburukan jauh lebih diutamakan daripada meraih kebaikan)," kata pengamat NU yang bukunya dipuji almarhum cucu pendiri NU KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu.
Baca juga: PDI P: Penetapan Ma'ruf Amin melalui dialog pemimpin
Senada dengan itu, Nakamura (2001) dalam makalah berjudul "The Radical Transformation of Nahdlatul Ulama in Indonesia" menyebut perilaku politik NU pada 1970-hingga 1990-an kerap melawan arus dari kecenderungan umum, membangun relasi antara organisasi kemasyarakatan dan pemerintah.
Bahkan, Robin Bush (1999) memberi analog untuk tradisi politik NU yang tidak melulu mengikuti textbook itu sebagai "NU pintar bermain dansa, sehingga susah dijerat atau dipaku (dipatok) pada posisi tertentu".
Dalam bahasa yang senada, pengajar FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Dr Burhanuddin Muhtadi, menyebut konsistensi NU justru terletak pada inkonsistensinya. Inilah eksotisme NU yang kadang menampilkan wajah ambigu.
"Saya lebih suka menyebutnya sebagai `kekecualian` atau exceptionalism NU. Metamorfosis NU yang bisa berubah 180 derajat itulah yang membuat kebhinnekaan kita seperti mendapat jaminan. Inilah amal jariah terbesar NU bagi bangsa yang majemuk," katanya.
Artinya, perbedaan pendapat di kalangan NU merupakan dinamika yang biasa terjadi dalam organisasi para ulama yang memiliki kelenturan ala fiqih itu, namun NU harus mewaspadai "ancaman" ideologi yang menghalalkan segala cara untuk "mematikan" 2-N (NU dan NKRI).
Ke depan, NU-NKRI harus bergandengan tangan untuk memblokade "ancaman" ideologi yang umumnya menggunakan uang untuk misi non-muslim atau misi muslim transnasional, karena itu NU harus melakukan penguatan ideologis dalam bingkai "fiqih oriented" lebih maksimal dan pemerintah (NKRI) harus melakukan pengentasan kemiskinan yang jadi "pintu masuk" ideologi anti-Pancasila itu.
Baca juga: Said Aqil: Mahfud MD tidak pernah minta Kartu NU
Baca juga: PB NU proses pengganti Rais Aam Ma'ruf Amin
Pewarta: Edy M Yakub
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018