Pasca gempa air benar-benar hilang belum ditambah lagi dengan listrik mati
Mataram (ANTARA News) - Setetes air bisa dikatakan begitu berharganya bagi korban amuk perut bumi kekuatan 6,9 Skala Richter (SR) di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Air dicari-cari setelah menjadi barang langka hampir satu bulan terakhir ini.
Mereka rela harus mencari berkilo-kilometer demi merasakan segarnya air untuk mengisi dahaga yang belum terbayarkan secara sepuas-puasnya selama ini. Kalau perlu membayarkan tidak jadi masalah. Betapa sulitnya air di tanah yang terkenal dengan kesuburannya itu.
"Saya saja harus membeli air untuk 2.500 liter, Rp100 ribu," kata warga Dusun Senaru, Lombok Timur, Nur Saat.
Dusun Senaru saja yang notabene berada di daerah ketinggian atau tepatnya menjadi pintu masuk untuk pendakian ke Gunung Rinjani, sudah tidak memiliki air, padahal sebelumnya daerah tersebut surga air.
Bahkan Nur Saat juga harus mencapai sampai lima kilometer jika mobil air keliling tidak melewati tempat tinggalnya. "Air saat ini benar-benar jadi barang berharga," tandas bapak lima anak ini.
Air lebih penting daripada bantuan makanan, air sumber kehidupan bagi kami, demikian Sahabuddin Effendi, warga Dompo Indah, Kecamatan Kayangan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat.
Persoalan ketiadaan air bukan hanya Sahabuddin Effendi saja, namun dialami pula oleh sejumlah korban gempa lainnya.
Mereka pun harus mencari air untuk memasak di tenda pengungsian ala kadarnya di sela-sela bangunan miliknya yang roboh. Mencari air itu bukan perkara mudah, sumber air lenyap setelah sumber mata air satu-satunya di sungai yang berhulu di Sungai Segara Anakan, Gunung Rinjani, tertimbun longsoran tanah.
Hilang sudah air untuk penyambung hidup sehari-hari, dan untuk mencari naik hulu sungai pun sangat tidak memungkinkan karena tanah lereng terus bergerak-gerak alias belum stabil.
Akhirnya mereka pun berlabuh, mata air Mumbul Sari yang tepat berada di pinggir jalan yang menghubungkan dua kecamatan di Lombok Utara, Keyangan dan Bayan.
Dengan memanfaatkan pinjaman tangki air berdaya tampung 5.100 liter dan truk pinjaman, dalam sehari harus dua kali turun ke mata air dari dusunnya yang berada di atas perbukitan. Kurang lebih berjarak sekitar 10 kilometer.
"Kita naik ramai-ramai bersama warga ke atas truk, menuju mata air," kata Sahabuddin.
Sesampainya di mata air, mereka tidak duduk manis menunggu tangki air, mereka pun memanfaatkan dengan mandi dan mengumpulkan air di jerigen yang dibawa masing-masing warga.
Pengantri air dari mata air yang masih ada itu, tidak hanya dari kalangan orang tua, tidak sedikitpun anak-anak. Mereka memanfaatkannya dengan bermain-main sejenak di mata air yang tidak pernah berhenti itu.
"Saya sendiri sudah hampir dua hari belum mandi, kemarin sibuk mengurus keluarga di tenda pengungsian," kata Sahari, warga Dompu Indah.
Kondisi sungai di dekat dusunnya sudah kering sama sekali akibat aliran airnya terputus longsoran tanah.
"Jika kita naik ke hulu dan turun ke sungai juga, sangat berbahaya karena tanah masih labil," katanya.
Ia berharap pemerintah untuk segera mengatasi longsoran tanah yang menimbun aliran sungai. "Paling utama bantuan itu, adalah air untuk kebutuhan sehari-hari," tandasnya.
Persoalan ketiadaan air dialami pula oleh Ria Anggraeni, pemilik warung makan di Bayan, harus mengambil air di Desa Ancak, Karang Bajo, Senaru yang berjarak tujuh kilometer.
"Pasca gempa air benar-benar hilang belum ditambah lagi dengan listrik mati," katanya.
Warga Dusun Sanjang, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, terpaksa harus mencari air ke Dusun Sembalun Bumbung setelah sumber air di Propok atau pendakian ke Gunung Rinjani di Torean, tertutup longsoran.
Jarak antara Dusun Sanjang ke Sembalun Lawang, terbilang jauh karena hanya melewati jalan aspal yang cukup berkelok-kelok dan di satu titik kelokannya bentuk V hingga memerlukan kelihaian pengendaranya. Mereka pun harus menempuh jalan itu hanya sekadar untuk mendapatkan air bersih.
Di Dusun Sanjang itu terdapat 304 kepala keluarga atau 986 jiwa, mereka saat ini membutuhkan air bersih terutama untuk keperluan hidupnya sehari-hari.
Relawan dari Komunitas Belajar Rumah Bintang Bandung, Niki, menyebutkan awal gempa pertama pada 29 Juli 2018 yang berkekuatan 6,4 Skala Richter (SR), longsoran dari saluran air hanya 400 meter namun setelah terjadi gempa berkali-kali longsoran itu memanjang sampai 5 kilometer
Sebenarnya pernah ditawarkan solusi dengan mengebor sumber air di dusun tersebut, tapi menurut warga sia-sia karena upaya itu pernah dilakukan sampai kedalaman 200 meter, namun air tidak juga ke luar.
"Warga saat ini benar-benar membutuhkan air bersih," katanya.
Korban terdampak gempa itu saat ini benar-benar menunggu bagaimana langkah pemerintah setempat untuk mengatasi persoalan ketiadaan air karena air menjadi sumber vital bagi kehidupan mereka sehari-hari. Betapa berharganya setetes air di tanah ?Bumi Gora? saat ini.
Pengiriman air
Pengiriman sarana dan prasarana untuk pengadaan air bersih dan sanitasi yang sangat dibutuhkan para pengungsi korban gempa bumi di Pulau Lombok terus dilanjutkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
"Pengiriman terus dilanjutkan sejalan dengan masa tanggap darurat yang sudah diperpanjang dari 11 Agustus menjadi 25 Agustus 2018," kata Direktur Jenderal Cipta Karya, Kementerian PUPR, Danis H Sumadilaga.
Menurut Danis, sebanyak 20 sumur bor yang dilengkapi pompa air tanah (PAT) dengan kapasitas 15-20 liter/detik difungsikan sebagai sumber air bersih pengungsi telah dikirimkan. Sebaran 20 sumur bor dan PAT adalah lima unit di Kabupaten Lombok Timur dan 15 unit berada di Kabupaten Lombok Utara.
Untuk distribusi air bersih dilakukan dengan menggunakan 19 mobil tangki air (MTA) ke wilayah yang telah disepakati bersama dengan Basarnas, PMI, BNPB, dan Kepolisian Air kemudian ditampung dengan menggunakan tandon air maupun hidran umum berkapasitas 2.000 liter.
"Distribusi belum menjangkau secara merata hingga ke daerah terpencil, karena memerlukan tambahan hidran umum sebagai tempat penampungan air. Saat ini hidran umum yang telah terpasang sebanyak 100 unit dan sudah kita tambah sebanyak 100 lagi," ujar Danis.
Sebanyak 100 unit hidran umum sudah tiba di Mataram pada 14 Agustus yang dikirimkan dari gudang peralatan Kementerian PUPR di Jakarta. Selain itu juga kembentrian juga kembali mengirim 149 WC "portable" dari Surabaya dan 280 set WC "knock down" yang diperkirakan tiba di Lombok pada 16 Agustus 2018.
Kementerian PUPR telah memasang di lokasi-lokasi pengungsian sebanyak 90 WC "portable" seperti di Posko Kecaatan Tanjung, Desa Sokong, Posko Kecamatan Gangga, Posko Kecamatan Pemenang, dan Posko Kecamatan Kayangan yang juga dilengkapi oleh hidran umum dan bioseptik.
Pewarta: Riza Fahriza
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018