Jakarta (ANTARA News) - Kelompok pengamat ekonomi, Tim Indonesia Bangkit (TIB), menegaskan pemerintah Indonesia harus mengubah pola pembangunan ekonomi konservatif ala konsensus Washington demi meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. "Tidak ada kata lain kecuali kita harus mengubah paradigma kebijakan pembangunan. Kita tinggalkan kebijakan konservatif ala konsensus Washington yang terbukti di banyak negara tidak membawa perubahan perbaikan ekonomi secara struktural," kata anggota TIB, Hendri Saparini, dalam jumpa pers TIB di Jakarta, Jumat, menanggapi Pidato Kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Gedung DPR/MPR/DPR pada Kamis (16/8). Tim Indonesia Bangkit yang dalam jumpa pers tersebut dihadiri oleh anggotanya, yaitu Imam Sugema, Fadhil Hasan, Ichsanudin Noorsy, Binny Buchori dan Hendri Saparini mengkritisi pilihan kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah yang selama 40 tahun menganut sistem konsensus Washington tetapi tidak kunjung berhasil meningkatkan kesejahteraaan rakyat. Hendri melihat kebijakan pemerintah dalam mencari pendanaan APBN terlihat tetap dengan tiga cara yaitu dengan pajak, utang luar negeri dan privatisasi karena menganut kebijakan konsensus Washington. "Tetapi dengan mengubah paradigma pembangunan ekonomi, maka pilihan pendanaan menjadi banyak, menjadi memungkinkan bagi pemerintah untuk secara aktif dalam pengelolaan ekonomi," terang Hendri. Dia menjelaskan pembangunan ala konsensus Washington salah satunya melakukan liberalisasi sektor keuangan, industri maupun sektor perdagangan. "Akan tetapi kalau kita tinggalkan itu dan akan lebih mengutamakan kepentingan nasional maka dalam melakukan liberalisasi akan bertindak hati-hati sehingga tidak akan ada industri besar dan UKM yang terlibas masuknya produk-produk impor," lanjutnya. Anggota TIB yang juga Direktur Econit itu mengatakan pemerintah harus menerapkan kebijakan ekonomi yang lebih menitikberatkan kepentingan nasional dan bagaimana masyarakat luas dapat memperoleh manfaat sebesar-besarnya. "Konsep ekonomi yang digunakan tidak harus diberi nama, tapi konsep pembangunan ekonomi yang menitikberatkan pada kepentingan nasional dan kepentingan masyarakat luas. Di dalam membuka investasi, maka pertimbangan utama adalah bagaimana kepentingan nasional dilindungi dan bagaimaan masyarakat dapat memperoleh manfaat sebesar-besarnya," katanya. Akan tetapi kalau tujuan utama, karena Indonesia sudah masuk iklim ekonomi global sehingga harus mengikuti pengalaman kebijakan negara lain, mKA artinya kepentingan nasional dan masyarakat bukan nomnor satu. Itu harus dilakukan pada semuanya. bila ingin mencabut subsidi,maka analisis tersebut harus memperhitungkan apakah waktu pencabutan sudah tepat atau belum. Dia menegaskan ada kepentingan nasional yang harus dijaga seperti negara lain lakukan, misalnya dengan tetap memberikan subsidi pertanian seperti dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat. Indonesia, kata Hendri, bisa mencontoh kebijakan Argentina yang meminta penangguhan pembayaran pokok dan cicilan utang luar negerinya selama tiga tahun untuk menggenjot perekonomian dalam negeri. "Dengan kebijakan itu, Argentina mempunyai arah jelas dan terukur untuk menyelesaikan beban utang, tetapi Indonesia ketika ada tawaran moratorium(penundaan pembayaran utang luar negerinya , red) malah langsung ditolak dengan alasan mengganggu rating Indonesia," kata Hendri. Hendri mengatakan pemerintah bisa mencontoh kebijakan pembangunan di negara Argentina, Singapura, Jepang ataupun Korea Selatan yang pemerintahnya mengambil peran yang besar, misalnya dalam struktur industri. "Thailand atau Korea Selatan memiliki struktur industri yang sangat kuat, tetapi bagi negara yang menganut sistem konsensus Washington mereka tidak punya kebijakan industri karena kebijakan industri mewajibkan pemerintah untuk berperan aktif, sedangkan neoliberal ingin mengambil peran pemerintah sebanyak mungkin," jelas Hendri. Indonesia, kata dia, tidak perlu harus membuat strategi ekonomi yang asli atau "genuine" dan bisa mengadopsi konsep kebijakan ekonomi negara lain, asalkan bukan negara yang konsensus Washington. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007