Banjarbaru (ANTARA News) - Bandara Syamsudin Noor Banjarbaru Kalimantan Selatan (Kalsel) sejak beberapa hari terakhir dikepung api akibat pembakaran lahan pertanian di sekitar lokasi bandara. "Bandara Syamsudin Noor kini dikepung api yang barasal dari pembakaran lahan secara sporadis oleh masyarakat sekitar lokasi tersebut," kata Kepala Dinas Kehutanan Kalsel, Suhardi, Jumat. Menurutnya, pembakaran lahan pertanian untuk tanaman sayur-mayur tersebut kendati tidak di lokasi lahan yang cukup luas, namun jumlahnya cukup banyak dan mengelilingi bandara. "Pembakaran lahan yang dilakukan hanya sekitar empat sampai lima borong untuk setiap lokasi, namun jumlahnya cukup banyak. Beruntung sebelum dibakar lahan tersebut dibersihkan terlibih dahulu sehingga apinya tidak menyebar," katanya. Kendati pembakaran lahan mulai marak di sekitar bandara, namun belum menimbulkan kabut asap tebal sehingga belum mengganggu penerbangan, jarak pandang juga masih normal. Selain di sekitar bandara, pembakaran lahan juga terjadi hampir di seluruh wilayah Kalimantan, mengingat saat ini mulai memasuki musim tanam ke dua terutama di lahan lebak. Dari data yang dihimpun Dinas Kehutanan setempat, tambahnya, hingga 16 Agustus titik api telah mencapai 73 lokasi, tersebar di Kabupaten Banjar, Tapin, Tabalong, Tanah Laut (Tala) dan Tanah Bumbu (Tanbu). Sayangnya, kendati secara kasat mata aparat terkait menyaksikan langsung proses pembakaran lahan tersebut, namun hingga kini tidak mampu mencegahnya atau memberikan sanksi tegas. Kewenangan Dishut, tambahnya, baru sebatas mengimbau untuk tidak melakukan pembakaran lahan, untuk proses hukum sampai saat ini perdanya masih dalam pembahasan. "Beberapa hari terakhir setiap saya lewat bandara, selalu terjadi pembakaran lahan, kendati saya menyaksikan langsung, tapi tidak bisa berbuat apa-apa," katanya. Sementara Kepala Dinas Pertanian Kalsel, Sriyono mengungkapkan, pembakaran lahan sampai saat ini masih merupakan alternatif paling murah untuk proses awal tanam. Kendati ada cara lain yang lebih aman, dengan menjadikan rumput maupun ilalang yang ada menjadi kompos, namun biayanya relatif sangat mahal dan prosesnya pun lebih rumit. Berdasarkan alasan tersebut, pihaknya hingga kini masih kesulitan untuk memberikan alternatif pilihan atau melarang petani untuk tidak melakukan pembakran lahan. Namun demikian tambahnya pihaknya selalu melakukan pengawasan jangan sampai pembakaran lahan menyebabkan kabut asap secara besar-besaran.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007