Jakarta (ANTARA News) - Kejatuhan bursa saham dunia diperkirakan berlanjut, termasuk bursa saham Indonesia, karena investor terus melakukan penjualan sahamnya secara besar-besaran bukan untuk lagi profit taking (ambil untung), melainkan "cut loss" (jual rugi) untuk menekan kerugian yang dideritanya. Beberapa analis yang dihubungi ANTARA News di Jakarta, Kamis, tidak bisa berkomentar banyak melihat kejatuhan bursa saham Jakarta yang sudah diluar batas kewajaran itu. "Krisis terjadi di AS namun imbasnya justru paling buruk terjadi di bursa saham Jakarta. Kejatuhan bursa saham ini akan terus berlanjut, namun tidak dapat diprediksi sampai kapan. Yang jelas imbasnya sangat besar kepada bursa saham Jakarta," kata analis Farial Anwar. Menurutnya, investor asing yang mendominasi transaksi saham di BEJ, banyak menjual portofolio investasinya. Tidak hanya di saham saja melainkan juga di SUN (surat utang negara), dan sertifikat Bank Indonesia (SBI). "Mereka menjual semua portofolio investasinya di Indonesia, karena membutuhkan banyak dolar AS untuk menutup kekurangan likuiditasnya. Hal ini semua dipicu oleh redemption besar-besaran di reksadana properti," katanya. Penurunan indeks besar-besaran terjadi lagi pada perdagangan saham Kamis ini. Bursa di kawasan Asia dan global banyak yang tumbang akibat banyak investor yang panik dan menjual sahamnya secara besar-besaran. Pada perdagangan hari ini bursa Kuala Lumpur anjlok 3,58 persen, Nikkei Jepang 1,99 persen, bursa Singapura anjlok 4,31 persen, bursa Hongkong turun 3,71 persen dan indeks Dow Jones turun 1,29 persen. Sementara yang paling parah terjadi di bursa saham Jakarta, indeks BEJ ambrol sekitar 8 persen atau paling buruk dibandingkan bursa regional dan global. Farial mengatakan krisis global yang berawal di AS ini jika tidak tertangani dengan cepat akan menyebabkan resesi dunia. Namun dia yakin pemerintah AS dan Negara-negara Eropa akan dapat mengatasinya dalam jangka waktu sekitar satu sampai dua bulan. "Hal ini akan berbeda dengan Indonesia, mungkin akan lebih lama dari itu. Karena itu Bank Indonesia jangan menganggap remeh jatuhnya nilai rupiah yang kini sudah menembus level Rp 9.400 per dolar AS," ujarnya. Dia juga menyesalkan berita-berita analis asing yang sebelumnya banyak menyatakan bahwa krisis akan terjadi dan dimulai dari kawasan Asia. "Tapi kenyataannya krisis malah terjadi dan dimulai di Amerika Serikat. Hal itu sengaja di `blow up` analis asing agar terjadi pembalikan arus modal (capital out flow) dari kawasan Asia," katanya.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007