Phnom Penh, Kamboja, (ANTARANews) - Anak pengungsi Rohingya yang tak memiliki pendidikan secara layak di kamp di Bangladesh dapat menjadi "generasi yang hilang", demikian peringatan PBB pada Kamis.
Satu tahun lalu, militer Myanmar memulai penindasan yang telah memaksa lebih dari 700.000 orang menyelamatkan diri dari negeri itu.
Kehidupan dan masa depan lebih dari 380.000 anak-anak di berbagai kamp pengungsi di Bangladesh menghadapi ancaman, sementara ratusan ribu anak pengungsi yang masih berada di Myanmar terputus dari bantuan, kata laporan Badan Anak PBB (UNICEF).
Bangladesh melarang pengungsi menerima pendidikan formal, sebab pemerintah prihatin bahwa penduduk Rohingya, yang kebanyakan beragam Islam, bisa menjadi "penghuni tetap", kata Juru Bicara UNICEF Alastair Lawson-Tancred.
Dengan munculnya krisis pengungsi, berbagai badan bantuan mendirikan pusat belajar informal buat anak-anak yang berusia tiga sampai 14 tahun, tapi remaja yang lebih tua merasa terasing dan tak memiliki harapan, kata Lawson-Tancred.
"Tak diragukan, ada bahaya bahwa kita mungkin menghadapi generasi yang hilang," kata Lawson-Tancred melalui telepon kepada Thomson Reuters Foundation --yang dipantau Antara di Jakarta, Kamis pagi.
Cepat atau lambat, akan ada banyak kelompok pemuda yang tidak puas," kata juru bicara tersebut dari Kabupaten Cox`s Bazar di Bangladesh.
Kebanyakan pengungsi yang menyeberangi perbatasan selama empat bulan pertama operasi militer, yang dimulai setelah gerilyawan Rohingya melancarkan serangan terhadap pasukan keamanan di Negara Bagian Perbatasan Rakhine pada 25 Agustus 2017.
Para pejabat Myanmar telah berulangkali membantah bahwa tentara pemerintah melakukan tindakan yang bermusuhan terhadap warga sipil Rohingya, yang telah dicatat oleh pegiat, dan meliputi perkosaan, pembunuhan secara pembakaran.
Satu dari dua anak Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh tanpa orang tua mereka menjadi yatim-piatu akibat kerusuhan, sementara lebih dari 6.000 anak tinggal di Cox`s Bazar saja atau harus mempertahankan diri mereka, kata satu studi oleh lembaga amal Save the Children pekan ini.
Lembaga bantuan dengan susah-payah telah menyediakan layanan dasar, tapi krisis jauh dari selesai, sementara pengungsi berdesak-desakkan di kamp dengan resiko banjir, tanah longsor serta penyakit, kata UNICEF.
Lembaga bantuan Inggris, Oxfam, memperingatkan bahwa sebagian instalasi dasar seperti toilet dan kamar mandi --yang seringkali tak mempunyai kunci, pintu atau atap-- menimbulkan resiko keamanan dan kesehatan buat perempuan Rohingya.
Banyak pengungsi menghindari perjalanan ke instalasi sementara karena mengkhawatirkan pelecehan seksual --yang berarti mereka kelaparan dan kehausan, menderita sakit perut parah, dan terancam wabah penyakit karena mereka menggunakan lap selama masa itu dan buang air besar di luar tenda mereka.
Ratusan kasus pelanggaran seksual dilaporkan setiap pekan di Cox`s bazar, kata Oxfam di dalam satu pernyataan pekan ini.
Pewarta: Antara
Editor: Chaidar Abdullah
Copyright © ANTARA 2018