Sana`a, Yaman,(ANTARANews) - Saat jutaan orang Muslim di seluruh dunia menyembelih hewan untuk merayakan Idul Adha, atau Hari Raya Kurban, mulai 21 Agustus, jutaan orang di Yaman --yang dicabik perang-- tak mampu memperoleh satu kali makan dalam sehari.
Menurut laporan PBB baru-baru ini, 22,2 juta orang Yaman tergantung atas bantuan, dan 8,4 juta orang dari 29 juta warga Yaman berjuang untuk memperoleh makanan berikutnya.
Di pasar ternak Noqum di Sana`a Timur, puluhan orang berkumpul untuk membeli kambing, sapi guna merayakan Hari Raya Kurban.
Bahkan sebagian sapi di sana memperlihatkan tanda kekurangan gizi parah.
Hosen Ar-Rajawi, seorang pembeli, mengatakan keluarganya akan berbagi biaya sapi kurban bersama enam anggota keluarga tetangga untuk hari raya tersebut.
"Sapi, yang berharga 350.000 rial Yaman (636,36 dolar AS) selama Idul Adha tahun lalu, sekarang dijual dengan harga satu juta rial," kata Ar-Rajawi kepada Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Selasa malam.
Saif Mohammed, seorang pembeli lain di pasar itu, mengeluhkan harga ternak jauh lebih mahal dibandingkan dengan tahun lalu.
"Kami sudah menderita akibat harga yang melangit, perang, blokade. Oleh karena itu, kami menghadapi penderitaan tiga-sisi," kata Mohammed.
Sementara itu, Mohammed Al-Firsi, seorang pedagang ternak, mengatakan kenaikan harga disebabkan oleh lonjakan harga pakan ternak, air dan bahan bakar.
"Bisnis tahun ini sangat lemah dibandingkan dengan tahun lalu akibat perang, blokade habis-habisan dan kenaikan nilai tukar dolar terhadap rial Yaman," kata Al-Firsi.
Negara Arab miskin tersebut telah dirongrong perang saudara sejak 2014, ketika gerilyawan Syiah dukungan Iran, Al-Houthi, merebut sebagian besar wilayah negeri itu dan menguasai seluruh provinsi Yaman Utara, termasuk Ibu Kotanya, Sana`a.
Pasukan koalisi Arab pimpinan Arab Saudi mencampuri perang Yaman untuk memerangi petempur Al-Houthi pada Maret 2015 sebagai reaksi atas permintaan resmi dari Presiden Yaman Abd-Rabbu Mansour Hadi, yang diakui masyarakat internasional, untuk merebut kembali negeri itu.
Pada 2016, Pemerintah Hadi menuduh gerilyawan Al-Houthi menggunakan uang Bank Sentral Yaman untuk membiayai pembangunan militernya, dan memindahkan bank tersebut dari Sana`a --yang dikuasai gerilyawah Al-Houthi-- ke Aden, Ibu Kota sementara pemerintah di Yaman Selatan.
Namun tuduhan itu dibantah oleh milisi Al-Houthi.
Perang tersebut telah mengakibatkan kemerosotan cepat ekonomi negeri itu, yang sudah goncang, dan memicu kenaikan harga.
Sementara itu, lebih dari puluhan ribu pegawai negara di Yaman Utara masih belum menerima gaji selama hampir 24 bulan akibat perang.
Mohammed Al-Alawi, seorang wartawan surat kabar 26 September -- yang dikelola negara dan berpusat di Sana`a-- mengatakan ia juga tidak memiliki cukup uang untuk membelikan lima anaknya daging selama Hari Raya Kurban.
"Saya akan membelikan anak-anak saya satu ayam pada hari pertama dari empat hari libur Idul Adha. Tapi saya tidak dapat menjamin makanan berikutnya," katanya.
Pewarta: Antara
Editor: Chaidar Abdullah
Copyright © ANTARA 2018