Jakarta (ANTARA News) - Pengamat ekonomi dari Universitas Gajah Mada (UGM), Sri Adiningsih, menilai pemerintah dalam RAPBN 2008 melakukan "window dressing" atau semacam laporan keuangan yang jauh lebih baik dibanding kondisi sebenarnya. "Pidato tadi mengejutkan. Pemerintah sepertinya terlalu percaya diri dan puas atas berbagai kebijakan yang ditempuh, padahal kenyataan di lapangan memprihatinkan. Ini sama saja dengan `window dressing`," kata Sri saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Kamis. Penegasan tersebut disampaikannya menanggapi Pidato Kenegaraan dan Keterangan Pemerintah atas RAPBN Tahun 2008 dan Nota Keuangannya yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Gedung MPR/DPR, Jakarta. Kepala Negara dalam kesempatan itu menyebut momentum perbaikan ekonomi yang dicapai pada 2007 diperkirakan akan terus berlanjut pada 2008, dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi mencapai 6,8 persen. Selain itu, stabilitas diharapkan tetap terjaga dengan tingkat inflasi 6,0 persen, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 bulan 7,5 persen, dan nilai tukar pada level Rp9.100 per dolar AS dan harga minyak rata-rata pada 2008 sebesar 60 dolar AS per barel. Menurut Sri, pemerintah terlalu optimis, sementara kondisi saat ini berdasarkan sebuah survei menyatakan bahwa 88,45 persen penduduk Indonesia masih merasakan adanya krisis dan kualitas hidup dalam 10 tahun terakhir yang tidak berubah atau hampir sama. "Itu tandanya belum ada perubahan mendasar. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang dilaporkan pemerintah belum menyentuh sektor riil," katanya. Karena itu, Sri menilai, apa yang dicapai pemerintah sejauh ini, hanya tampak di permukaan, sementara kualitasnya rendah. "Kredit perbankan mengucur pada sektor konsumtif," katanya. Rendahnya kualitas, tambahnya, tampak juga ketika pemerintah menyikapi ancaman krisis finansial global, karena ternyata langkah pemerintah sepertinya tidak punya konsep. "Menteri ekonominya malah menegaskan tak perlu persiapan khusus. Ini kan mencurigakan. Padahal, ancaman itu, bisa saja menggerus nilai cadangan devisa yang hanya 50 miliar dolar dalam waktu cepat, sehingga berpotensi menimbulkan krisis kedua," katanya. (*)
Copyright © ANTARA 2007