Sebenarnya, kata Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol Hamli dalam kuliah umum bertajuk "Menangkal Radikalisme di Kampus" di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Selasa, mayoritas masyarakat Indonesia menolak radikalisme.
"Namun, justru kita menjadi silent majority. Ingat Afghanistan jatuh dalam kubangan konflik karena fenomena silent majority, " kata Hamli dikutip dari siaran pers.
Menurut dia, penyebaran narasi radikalisme seperti narasi kebencian, narasi keterancaman, narasi teori konspirasi, narasi umat yang dizalimi, dan narasi intoleransi saat ini sudah sangat meresahkan.
Paham dan narasi radikal telah menyebar di berbagai lini kehidupan masyakarat seperti sekolah, kampus, lembaga keagamaan, dan masyarakat.
"Di lingkungan kampus fenomena radikalisme justru telah lama terjadi," kata Hamli di hadapan mahasiswa baru pascasarjana UPI.
Ia mengatakan untuk mempersempit ruang gerak paham dan narasi radikal di perguruan tinggi harus dilakukan terpadu baik di level kebijakan pemerintah, kebijakan kampus, kurikulum, penguatan bela negara, dan kegiatan mahasiswa.
Pada bagian lain, Hamli mengingatkan bahwa pintu masuk sekaligus lahan subur bagi radikalisme adalah konflik.
Oleh karena itu, konflik sebisa mungkin dihindari. Masyarakat harus bisa menahan diri dari berbagai provokasi agar tidak menimbulkan konflik yang meluas di lingkungan sosial.
"Kita harus jaga ego-ego kita karena konflik tidak hanya merugikan, tetapi di situlah orang radikal teroris masuk untuk memperkeruh suasana," katanya.
Baca juga: BNPT beberkan penyebaran radikalisme kepada guru besar UI
Baca juga: Din: radikalisme tidak dituduhkan pada satu agama
Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018