Sweida, Suriah (ANTARA News) - Hanin Jibai baru berusia 17 tahun dan pada satu malam terbangun karena mendengar suara tembakan di luar rumahnya.

Ia tidak mengetahui apa yang sedang terjadi, dan melihat ibunya sedang memegang tongkat dan berjuang untuk mencegah beberapa pria bersenjata menerobos ke dalam rumah mereka.

Itu adalah mimpi buruk, tapi mimpi terburuk setiap orang, saat pria bersenjata yang ternyata adalah anggota IS di luar rumahnya setelah menyerbu desa tempat tinggal Hanin, Shibki, di pinggir timur Provinsi Sweida di Suriah Selatan.

Gadis remaja tersebut pergi tidur tanpa mengetahui bahwa desanya, yang damai, akan dikuasai oleh IS sebelum Matahari terbit dan kehilangannya sangat besar.

"Saya terbangun karena mendengar suara peluru mendesing melalui pintu kami. Gerilyawan garis keras memasuki rumah dan membunuh ibu saya. Mereka ingin membawa saya bersama mereka dan saya memberitahu dua adik saya agar melompat ke bak air di dalam rumah kami," kata Hanin kepada Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Ahad malam.

Hanin Jibai mengatakan tak ada jalan lain buat dia selain melompat untuk mendorong kedua adik perempuannya agar mengikuti dia dengan harapan mereka dapat selamat. Keduanya berusia 12 tahun.

"Saya melempar diri saya ke depan mereka, tapi mereka ketakutan saat petempur IS melihat kami dan salah seorang memegang tangan saya saat saya berusaha bersembunyi di dalam tangki yang setengah berisi air. Saya berusaha melepaskan tangan saya dari cengkeramannya, tapi ia merenggut kedua adik saya dan tidak membiarkan mereka melompat di belakang saya," ia mengenang.

Bersembunyi dalam tangki air telah menyelamatkan nyawanya sebab para petempur IS mengira ia tewas-tenggelam. Tapi ia menyeret kedua adiknya ke luar rumah dan membunuh mereka.

Gadis remaja itu tetap bersembunyi sampai ia tak mendengar suara tembakan. Ia memanjat ke luar tangki dan melihat sekelilingnya. Yang pertama ia lihat adalah mayat ibunya di dekat pintu.

"Ketika saya meninggalkan tangki air, saya bergegas ke tempat ibu saya menyimpan obat, dan meminum banyak pil sebab saya mau mati. Saya takut gerilyawan garis keras kembali ke dalam rumah," katanya.

Gadis remaja tersebut tidak menemui ajal, tapi pingsan karena pengaruh pil sebelum ia terbangun di ranjang rumah sakit.

Saat mengingat ibunya dan dua adiknya, gadis remaja itu --yang sekarang tinggal bersama pamannya-- mengatakan ia tak pernah membayangkan hidup tanpa mereka, tapi "hidup berjalan terus".

"Saya menerima kenyataan bahwa mereka telah tiada bukan diculik sebab setidaknya saya memiliki penutup," kata Hanin, yang mengenakan sweater hitam dan celana pendek sebagai lambang kesedihan.

Gadis remaja tersebut tidak menyambangi rumahnya di desa setelah serangan itu, dan mengatakan ia tak bisa hidup di sana lagi sendirian setelah kehilangan keluarganya.

Tapi ia mengatakan bahwa ia hanya akan berkunjung untuk melihat barang-barangnya di dalam rumah sederhana di desa tersebut, yang hanya memiliki satu lantai dengan sedikit furnitur sebab keluarganya miskin. Tak ada tempat tidur di dalam rumah itu, selain beberapa kasur di lantai.

Desa Shibki adalah satu dari lima desa yang diserang IS pada 25 Juli di pinggir Sweida di dekat wilayah gurun.

Serangan tersebut adalah yang paling akhir di Sweida sejak awal perang Suriah lebih dari tujuh tahun lalu, dan 260 orang tewas dalam serangan desa serta pemboman bunuh diri.

Pewarta: Antara
Editor: Chaidar Abdullah
Copyright © ANTARA 2018