Ada satu prinsip teologis yang secara universal dijadikan ruh spiritualitas oleh agama-agama, yakni pengutamaan pada nilai pengorbanan untuk memaknai kehidupan.

Agama-agama besar mengakui sekaligus menganjurkan bahwa hidup yang bermakna adalah hidup yang diwarnai oleh pengorbanan. Nilai pengorbanan pun diakui jauh sebelum agama-agama besar yang dikenal publik saat ini menjadi kompas perilaku religius umat manusia.

Terkisahkan lewat penuturan Plato bahwa Socrates layak dipuji sebagai manusia bijak di bumi, antara lain karena keberanian dan pengorbanan yang dilakukan untuk menyelamatkan nyawa sahabatnya di medan perang. Will Durrant lewat buku The Story of Philosophy antara lain mencatat tentang kebajikan Socrates itu.

Dalam dunia politik, yang oleh sebagian kalangan dipandang sebagai dunia yang kotor, prinsip teologis itu jelas telah ditunaikan oleh tokoh-tokoh negarawan yang namanya harum tercatat di buku-buku sejarah.

Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir adalah contoh kecil tentang pribadi-pribadi yang memasukkan nilai teologis pengorbanan dalam laku politik mereka dalam merintis kemerdekaan Indonesia dari penjajahan.

Mereka dipenjara, dibuang sebagai implikasi atas perjuangan politik mereka. Itu tak berbeda dari pengalaman hidup yang dilewati Nelson Mandela, negawaran Afrika Selatan dalam meniti karir politiknya.

Zaman berubah. Kini politik terkesan sebagai perjuangan politikus untuk menikmati kekuasaan dan implikasi kenikmatannya bagi kelompok atau pendukung di lingkaran elite sang politikus.

Meraih posisi kekuasaan berarti meraih kelimpahan material yang dibagi-bagikan untuk kelompok atau pendukung setia sang politikus. Di sinilah, prinsip teologis pengorbanan tampak jauh dari keterkaitannya dengan politik.

Bukan rahasia umum bahwa untuk meraih kursi menjadi anggota legilatif di pusat, pada umumnya seorang politikus perlu mengeluarkan tak kurang dari dua miliar rupiah sebagai biaya politik. Hanya mereka yang punya afiliasi dengan penentu keputusan di parpol yang bisa melenggang menjadi anggota legislatif dengan biaya murah.

Untuk diakui sebagai calon legislatif yang tak perlu mengeluarkan biaya politik, sang calon sedikitnya punya nilai plus. Entah itu faktor kedekatan hubungan kekerabatan dengan ketua umum parpol atau faktor kemasyhuran, yang dimiliki oleh aktivis politik terkemuka atau selebritas di dunia hiburan.

Meraih kursi kekuasaan bisa juga dilakukan dengan pengorbanan semu. Artinya, mereka yang berharta dengan kekayaan yang diperoleh dengan jalan entah halal entah haram, menyumbangkan sejumlah besar dana kepada penentu keputusan di parpol untuk dijadikan calon anggota legislatif untuk daerah pemilihan yang menjadi basis konstituen parpol bersangkutan.

Namun, karena pengorbanannya bersifat semu, sang calon legislatif itu akan berusaha dengan berbagai cara paling memungkinkan, terkadang melanggar etika politik, untuk menarik kembali pengorbanan yang telah dikeluarkan. Banyaknya kasus-kasus korupsi antara lain terjadi dalam konteks yang berkaitan dengan biaya politik yang mahal. Di sinilah refleksi pengorbanan semu dalam politik terlihat.

Di tengah rasa prihatin dan kegeraman akibat terkuaknya para koruptor, yang sebagian besar adalah politikus, yang tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), harus diakui bahwa masih ada politikus yang menginjeksikan prinsip teoplogis pengorbanan dalam laku politik mereka. Sebagian bisa bertahan di tengah sengitnya intrik untuk mempertahankan kuasa, sebagian terpental dan tak sanggup lagi bertahan sebagai politikus yang berkuasa.

Partai Amanat Nasional (ANTARA News/Istimewa)

Salah seorang politikus yang juga berjasa dalam pendirian Partai Amanat Nasional yang pernah menduduki kursi sebagai anggota legislatif di komisi politik kini memilih keluar dari partai yang ikut didirikan itu.

Kini dia lebih banyak mengabdikan dirinya sebagai cendekiawan yang menulis di media massa mengutarakan prinsip-prinsip politik etis yang perlu dijalankan oleh politikus yang sedang berkuasa maupun yang sedang menjadi calon wakil rakyat.

Tak hanya di PAN, di partai-partai politik lain pun terjadi fenomena tersingkirnya politikus yang kalah dalam mempertahankan kursi kekuasaan itu.

Yang ironis adalah bahwa mereka yang tersingkir justru kalangan politikus yang tak mau berkompromi dengan jalan penghalalan segala cara dalam merebut atau mempertahankan kekuasaan.

Publik selalu merindukan atau mengimpikan bahwa mereka yang terjun ke dunia politik adalah pribadi yang sanggup menunaikan prinsip teologis pengorbanan itu. Pengorbanan yang dituntut publik sebenarnya cukup simpel. Sejauh mereka tidak korup cukuplah.

Itu sebabnya, apa yang dikemukakan belum lama ini oleh Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, tentang caleg yang menjadi pilihannya, yakni politikus yang baru terjun ke dunia politik, yang tak punya rekam jejak negatif, cukup beralasan.

Di tengah jutaan warga negara yang masih sulit memenuhi kebutuhan dasar, insting politikus yang waras adalah yang tergerak berjuang untuk mereka yang masih serba berkekurangan ini.

Mereka yang terjun ke ranah politik dengan melakukan kejahatan politik untuk memuaskan hasrat kemewahan dalam gaya hidup mereka jelas tak bernaluri sebagai politikus yang beretika.

Pada poin inilah para pemilih direkomendasikan untuk mencoblos mereka yang benar-benar memiliki rekam jejak yang bersih dari korupsi.

Lebih dari itu, politikus yang pernah berambisi untuk mengerdilkan institusi pemberantas korupsi pun tak layak untuk dipilih kembali.

Hanya mereka yang memedulikan prinsip teologis pengorbanan dalam laku politik lah yang layak untuk dipilih.*


Baca juga: Asman Abnur undur diri dari Kabinet Kerja

Baca juga: Kiyai Maimoen : kesamaan Indonesia dan etika politik Rasul

Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018