Seperti rumah adat di Senaru dan Batu Layar, kata relawan Yayasan Lingkungan Tanpa Batas Indonesia yang diketuai Sri Mulyani, Indriyatno kepada Antara di Jakarta, Sabtu malam.
Dosen Prodi Kehutanan Universitas Mataram menambahkan masyarakat Lombok itu memiliki kearifan budaya lokal ketika hidup di sekitar "ring of fire". Namun hanya modernisasi membuat perubahan bentuk dan bahan rumah.
"Walaupun hidup di daerah bencana (rumah adat), mereka cukup dapat beradaptasi awalnya," katanya.
Justru teman saya seorang relawan dari Belgia yang menyadarkan pentingnya rumah ekologi di daerah rawan bencana, katanya.
Terkait dengan biaya pembangunan rumah kayu itu, kata dia, jika dikombinasi dengan bambu, biayanya bisa lebih murah.
Ia memperkirakan biaya rumah kayu memakan biaya sekitar Rp30 juta sampai Rp40 juta. "Apalagi kalau pengerjaannya bergotong royong. Bisa untuk menata kampung sekaligus untuk tujuan destinasi wisata," katanya.
Kendati demikian, dirinya akan berkonsultasi dengan arsitek, yang mungkin lebih mengetahui besaran biayanya.
Bahkan relawan dari Belgia, ingin dibuatkan contoh rumah bambu di Senaru atau di Sembalun dalam waktu dekat untuk masyarakat di daerah tersebut.
Dari pantauan Antara, rumah adat yang bertahan dari gempa tektonik itu, seperti Masjid Kuno Bayan dan Kampung Adat Bayan Timur dan Barat yang sama sekali tidak rusak terkena guncangan gempa.
Baca juga: BNPB verifikasi kerusakan akibat gempa
Pewarta: Riza Fahriza
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018