Jakarta, (ANTARA NEWS) - Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) masih bisa mengeluarkan Ketetapan (Tap) MPR yang bersifat beschikking (penetapan) khususnya Tap MPR yang menetapkan presiden dan wakil presiden terpilih hasil pemilihan presiden.

Demikian satu rangkuman dalam Sarasehan “Memperkuat Status Hukum Ketetapan MPR dan MPRS dalam Sistem Hukum Indonesia” di Gedung Nusantara IV, Komplek Parlemen Jakarta, Sabtu (18/8/2018).

Sarasehan bersamaan dengan Peringatan Hari Konstitusi ini menghadirkan pembicara Rambe Kamarul Zaman (Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR), Prof Dr Maria Farida (mantan hakim konstitusi), dan Hamdan Zoelva (mantan Ketua MK).

Lebih lanjut dijelaskan dalam pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih, MPR bukan hanya mengeluarkan berita acara pelantikan, tetapi juga mengeluarkan Tap MPR.

Dalam paparannya Rambe Kamarul Zaman menyebutkan bahwa MPR masih bisa mengeluarkan atau membuat Tap MPR. Namun Tap MPR itu harus menyangkut "beschikking".

“Dalam pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih, MPR seharusnya mengeluarkan Tap MPR. Ini akan memperkuat MPR menyangkut kewenangannya meski MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi,” katanya.

Bukan hanya dalam pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih, MPR juga bisa mengeluarkan Tap MPR yang bersifat "beschikking" dalam hal presiden berhalangan di tengah jalan.

“Ketika presiden berhalangan, MPR juga perlu mengeluarkan Tap yang besifat beschikking,” ujarnya.

Hamdan Zoelva juga sependapat, ke depan MPR tidak bisa lagi membuat Tap MPR yang bersifat regling (mengatur). “MPR hanya bisa mengeluarkan Tap yang bersifat beschikking selain melakukan perubahan dan penetapan UUD,” ujarnya.

Tak jauh berbeda, Maria Farida juga berpendapat MPR tetap bisa membuat dan mengeluarkan Tap MPR tetapi Tap tentang beschikking, bukan Tap tentang penetapan GBHN, melainkan mengenai pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih.

“Menurut saya, Ketetapan MPR tentang pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih terdiri dari dua pasal. Pertama, pasal yang menyebutkan penetapan dan pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih. Kedua, pasal tentang kapan mulai berlakunya ketetapan itu. MPR sebagai mewakili rakyat Indonesia, karena yang melakukan pemilihan presiden adalah rakyat,” jelasnya.

Menurut Maria Farida, selama ini presiden dan wakil presiden yang terpilih tidak memiliki Tap MPR untuk pelantikan. Selama ini hanya ada berita acara pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih.

“Kalau misalnya nanti ada impeachment terhadap presiden, apakah MPR hanya mencabut berita acara pelantikan? Karena itu perlu Tap MPR untuk pengucapan sumpah presiden dan wakil presiden terpilih dan Surat Keputusan. Sebab, jika tidak ada Tap itu, bagaimana bisa dilakukan impeachment ?” tanya Maria Farida.

Dalam sarasehan itu juga terungkap perbedaan pendapat dalam hal perlunya Tap MPR yang bisa menafsirkan UUD. Rambe Kamarul Zaman memberi contoh Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945.

“MPR perlu mengeluarkan tafsir atas Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945 sehingga tidak ada perdebatan di masyarakat,” katanya.

Sebaliknya, Hamdan Zoelva berpendapat MPR tidak bisa mengeluarkan Tap yang memberi tafsir atas konstitusi karena tidak memiliki landasan normatifnya.

“MPR tidak bisa membuat Tap yang memberi tafsir atas konstitusi. Sebab, setelah amandemen, kewenangan tafsir konstitusi hanya diberikan kepada MK. Segala penafsiran konstitusi ada pada Mahkamah Konstitusi,” tegas Hamdan Zoelva.

Pewarta: Jaka Sugiyanta
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018