Jakarta (ANTARA News) - Penguasaha nasional H. Probosutedjo saat ini tidak lagi sebagai presiden direktur suatu perusahaan di bidang jasa keuangan atau sektor riil, tetapi beralih profesi sebagai "guru" bagi petani Sumedang, Jawa Barat, dari balik jeruji Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung. "Saya masih sehat, dan merasa senang dapat memimpin masyarakat tani Sumedang dan sekitarnya untuk meningkatkan produksi beras menuju swasembada," kata Probosutedjo, di balik jeruji Lapas Sukamiskin, Bandung, awal pekan ini. Probosutedjo (78) yang dilahirkan di Kemusu, Yogyakarta, pada 1 Mei 1930, itu tampak sehat dan bersemangat dalam menguraikan gagasannya menuju swasembada beras itu. "Kita ini sudah merdeka 62 tahun, masak masalah beras saja belum selesai," kata Probosutedjo. Dengan gaya bahasa yang lugas, ia menguraikan, berbagai gagasan untuk meningkatkan produksi gabah nasional. Dikatakannya, sekitar 500 petani Sumedang dan sekitarnya meminta dirinya untuk memberikan bimbingan tentang upaya peningkatan produksi padi mereka, karena selama ini mereka menamam padi, namun hasilnya tidak memuaskan karena biaya pupuk dan penggarapannya cukup tinggi. "Atas dasar permintaan itu, saya perintahkan mereka untuk menghindari barang-barang impor. Bibit harus diganti dengan bibit lokal yang lebih baik dengan menggunakan pupuk kandang atau organik. Dalam waktu tiga setengah bulan, hasilnya ternyata tidak kalah dari bibit impor dengan menggunakan pupuk unorganik atau urea," kata Probosutedjo.Pendiri kelompok bisnis Kedaung itu mengemukakan, dengan sistem itu petani lebih untung karena harga bibit dan pupuknya lebih murah. Jika petani dalam menanam padi menggunakan pupuk urea dan TSP yang hasilnya hanya sekitar empat ton per hektare, maka kehidupan petani akan tetap miskin dan berada dalam kelompok marginal. Saat ini, ia bersemangat mengemukakan bahwa para petani mendapatkan kenaikan pendapatan besar, karena dengan bibit dan pupuk berasal dari lokal dapat menghasilkan 9-10 ton per hektare. Para petani tidak dibebankan untuk membeli pupuk dan bibit, semua dipenuhi dari Probosutedjo lewat lembaga "Pak Harto Center." Setelah para petani memanen padinya, 40 persen dari hasilnya dikembalikan kepada Probosutejo, karena itu para petani dipastikan untung. Jika hasil penennya naik, mereka akan mendapat bagian besar, tetapi sebaliknya jika hasilnya rendah, Probosutedjo pun juga ikut menanggung ruginya. Pola seperti itu yang dicari para petani. Mereka tidak punya uang untuk beli pupuk dan bibit, akhirnya mencari uang lewat tengkulak, sementara jika sudah panen, hasilnya lebih banyak diambil oleh para tengkulak itu, katanya. "Saat ini tiap hari berbagai utusan kelompok tani datang ke sini untuk meminta diberikan pupuk dan bibit," ujarnya. Menjawab pertanyaan wartawan, ia mengatakan, pemerintah tidak mau mengeluarkan kredit untuk pembelian pupuk dan bibit karena bank tidak percaya. "Tetapi, saya masih percaya kepada petani, Mereka masih banyak yang jujur dan baik. Buktinya stelah selesai panen, mereka datang ke sini menyerahkan hasilnya," katanya. Itu sebabnya, dia saat ini sedang menyiapkan pembuatan gudang pengeringan dan penggilingan gabah dengan teknologi pemanasan non Bahan Bakar Minyak (BBM). "Saya akan kontak kepada Gubernur DKI Jakarta yang baru, Bapak Fauzi Bowo untuk mengumpulkan sampahnya, guna diubah menjadi kompos dan biogas pengganti BBM," kata Probosutedjo menambahkan. (*)
Pewarta:
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007