Susah-susah begini, kami ini tetap orang Indonesia. Kami sering ikut pasang bendera besar di atas sane.
Satu pompong dan dua boat pancung (sampan bermesin tempel), Jumat (3/8) sore berlayar beriringan menuju Pulau Karimun Anak, sebuah pulau terluar di Kecamatan Tebing, Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau.
Tiga kapal kecil itu merapat di pinggir pantai pulau itu, setelah berlayar sekitar 20 menit dari Pelambung, Desa Pongkar, mengangkut anggota DPR RI Dwi Ria Latifa, bersama sejumlah wartawan, camat, kapolsek, danramil, kepala desa, dan tokoh masyarakat setempat.
Tidak ada tambatan perahu atau dermaga, sehingga ketiga kapal rakyat itu terpaksa merapat di pantai berpasir putih, persis di depan deretan gubuk kayu dengan kibaran Bendera Merah Putih di halamannya, yang diikat di ujung tiang kayu sepanjang sekitar 6 meter, terpaku pada tiang jemuran pakaian agar kokoh tidak tumbang ditiup angin.
Bendera Merah Putih seukuran sekitar 1 x 0,5 meter itu berkibar di depan rumah Abu dan Amoi, sepasang suami istri suku asli yang berdiam puluhan tahun di pulau kecil itu.
Selain pondok Abu dan Amoi, gubuk-gubuk kayu warga suku asli yang berjejer di pantai tersebut juga sudah mengibarkan bendera merah putih.
Dan tidak ketinggalan pompong dan sampan yang mereka miliki, yang mengapung dan ditambat pada kayu bakau, juga sudah terpasang Bendera Merah Putih yang berkibar ditiup angin dari Selat Malaka.
"Kalau tidak (mengibarkan bendera), nanti disangke (pulau) Malaysia pulak. Di atas sane malah (bendera) lebih besar lagi," jawab Abu dengan aksen Melayu, ketika ditanya Antara alasannya mengibarkan Bendera Merah Putih.
Meski HUT ke-73 Kemerdekaan RI masih 14 hari lagi, Abu bersama seluruh penghuni pulau itu sudah mengibatkan bendera merah putih secara sukarela tanpa dipaksa, seperti penduduk di kota yang kerap lalai mengibarkan bendera merah putih.
Abu mengaku mengibarkan bendera setiap menyambut HUT Kemerdekaan RI, dan juga ikut serta mengibarkan merah putih pada momen-momen tertentu, seperti Hari Sumpah Pemuda di puncak bukit di pulau kecil itu.
Bagi Abu, mengibarkan bendera bukan sekadar ikut-ikutan, atau karena takut ditegur aparat, tetapi sebuah kesadaran dan panggilan untuk mempertahankan pulau terluar tetap menjadi bagian NKRI secara utuh.
"Susah-susah begini, kami ini tetap orang Indonesia. Kami sering ikut pasang bendera besar di atas sane, bersame orang-orang dari balai (Tanjung Balai Karimun)," kata dia.
Pulau Karimun Anak atau biasa juga disebut Pulau Karimun Kecil, merupakan satu dari dua pulau terluar di Kabupaten Karimun, selain Pulau Takong Hiu yang luasnya lebih kecil dan hanya terdiri dari bebatuan. Kedua pulau ini berbatasan langsung dengan Selat Malaka dan Malaysia.
Pulau Karimun Anak berbentuk gunung jika dilihat dari jauh, memiliki luas sekitar 8 kilometer persegi dengan panjang garis pantai 13,2 kilometer, dan sebagian besar lahannya merupakan kawasan hutan lindung.
Pulau ini tidak berpenghuni, kecuali di pinggir pantai tempat Abu mendirikan gubuk kayu. Abu (57 tahun) dan Amoi, bisa dikatakan keluarga utama di pulau itu, karena penghuni lainnya tidak lain anaknya sendiri, menantu, cucu atau cicitnya.
"Tidak ada orang lain di sini, semuanya keluarga. Anak saya delapan orang, cucu 28, dan cicit 13 orang," katanya sambil duduk di lantai gubuknya yang mulai lapuk dan miring.
Abu dan keluarga besarnya bukan nelayan. Mereka bekerja serabutan, kadang menjual hasil kebun, seperti rambutan dan kelapa, kadang menjual ketam, udang dan lainnya.
Warga suku laut ini masih jauh tertinggal dengan tingkat kesejahteraan yang rendah, tidak ada listrik dan tidak ada akses kesehatan maupun pendidikan yang memadai.
Dari 50 jiwa suku asli yang tinggal di pulau itu, hanya Edison, salah seorang cucu Abu yang mengenyam pendidikan hingga tamat di SMKN 1 Karimun, yang dibantu beasiswa dari pemerintah daerah setempat.
Anggota DPR RI Dwi Ria Latifa mengatakan semangat suku asli dalam memeriahkan HUT Kemerdekaan RI patut diacungi jempol, meski mereka jauh dari hiruk-pikuk kota, bahkan tinggal di pulau kecil dan terluar.
"Saya salut dan bangga, ini membuktikan semangat kebangsaan mereka cukup tinggi, meski hidup serba kekurangan," kata dia.
Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI itu mengatakan, semangat penduduk pulau terluar itu patut ditiru oleh orang-orang kota yang kerap lupa mengibarkan bendera setiap menyambut Hari Kemerdekaan.
Sebagai bagian dari NKRI, pulau terluar harus menjadi perhatian pemerintah, tidak hanya untuk mencegah pencaplokan dari pihak asing, tetapi tingkat kesejahteraan penghuninya juga harus diperhatikan.
"Bantuan yang diberikan tidak bisa insidentil saja, tetapi secara sistemik atau tersistem bagaimana bisa menata kehidupan mereka yang lebih baik dan layak," ujarnya.
Program peningkatan kesejahteraan penghuni Pulau Karimun Anak, menurut dia, juga harus dilakukan secara berkesinambungan.
Dalam kunjungannya itu, petugas kesehatan dari Puskesmas Tebing juga melakukan pengecekan kesehatan, dan hasilnya banyak anak-anak suku asli yang agak kurang gizi dan perlu mendapatkan imunisasi. Ada juga warga suku asli yang mengidap penyakit darah tinggi, kolesterol dan lainnya.
Kemudian, anak-anak mereka tidak ada yang sekolah, kecuali Edison yang tamat SMK, tapi menganggur setelah diputus kontrak kerjanya di sebuah perusahaan galangan kapal di Kecamatan Meral.
Saya berharap ada dorongan agar semua anak-anak suku asli bisa sekolah. Khusus Edison, saya berharap bisa dibantu agar mendapatkan pekerjaan sehingga bisa menjadi pembuka bagi keluarganya di sini," tutur Dwi Ria Latifa yang lahir di Tanjung Balai Karimun.
Meski jauh dari pusat kota, semangat kebangsaan suku asli di Pulau Karimun Anak patut mendapat acungan jempol. Di pulau terluar, bendera merah putih berkibar jauh hari sebelum puncak perayaan kemerdekaan yang ke-73 pada tanggal 17 Agustus 2018.
Baca juga: Raja Ampat kibarkan bendera Merah Putih raksasa
Baca juga: Ekspedisi Krakatau kibarkan Merah Putih di dalam laut
Pewarta: Rusdianto Syafruddin
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018