Para pengamat politik memprediksi bahwa kampanye Pemilihan Presiden 2019 akan lebih banyak diisi dengan adu program dari masing-masing pasangan kandidat yang berkompetisi.
Prediksi itu dilontarkan setelah petahana Presiden Joko Widodo memilih Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma`ruf Amin sebagai calon wakil presidennya.
Sementara itu, sang penantang yang juga Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto memilih Wakil Gubernur DKI Jakarta yang juga politisi Partai Gerindra sebagai pasangan cawapresnya.
Untuk kepentingan demokrasi, kampanye pemilihan presiden yang berfokus pada program merupakan keniscayaan. Dibandingkan dengan kampanye yang lebih banyak menyoal perkara rasial dan keagamaan, kampanye program akan mendamaikan dan meneduhkan kelompok-kelompok yang bersaing di tataran akar rumput.
Namun, apa yang dimaksud dengan kampanye program harus dibedakan dengan kampanye yang sekadar mengeksploitasi sentimen publik. Kampanye yang berisi program tentu perlu dijabarkan secara komprehensif dan aplikabel alias dapat diwujudkan secara nyata.
Sementara itu, kampanye yang mengeksploitasi sentimen publik, meskipun bukan berfokus pada perkara rasial dan keagamaan, lebih banyak melontarkan isu-isu kontemporer tanpa menunjukkan jalan keluar yang masuk akal dalam merealisasikan program sebagai solusi yang ditawarkan.
Para kandidat dalam persaingan perebutan kursi kepresidenan tentu punya tim ahli masing-masing yang akan merumuskan program-program kerja mereka untuk ditawarkan kepada publik.
Melihat posisi kubu petahana dan kubu penantang, bisa diperkirakan bahwa polemik tentang pembangunan untuk rakyat kecil akan menonjol.
Petahana yang akan membeberkan beberapa program andalannya berupa pembangunan inftrastruktur yang masif yang dilakukan di berbagai wilayah di Nusantara tampaknya akan mendapatkan sorotan dari sang penantang.
Selama ini, kubu oposisi yang direpresentasikan oleh politisi Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sering melontarkan kritik bahwa infrastruktur yang dibangun oleh pemerintah merupakan pembangunan yang berorientasi kepada kepentingan kaum menengah atas, bukannya rakyat kecil. Mereka berargumen bahwa yang menikmati jalan tol adalah kaum berduit yang punya kendaraan pribadi, bukan rakyat kecil.
Tentu politikus yang tergabung dalam koalisi pendukung pemerintah tak tinggal diam mendengar kritik kubu oposisi yang segera menjadi kubu penantang petahana dalam Pilpres 2019 itu. Mereka mengatakan bahwa selama arus mudik dan arus balik Lebaran 2018, rakyat pada umumnya yang memanfaatkan jalan-jalan tol yang baru dibangun merasakan manfaatnya. Kemacetan parah yang biasa menghantui kaum pemudik telah teratasi.
Isu-isu ekonomi lain tampaknya juga akan menjadi wacana paling menonjol dalam kampanye pilpres mendatang. Pihak penantang sudah mulai membidik isu lapangan kerja yang menjadi salah satu problem nasional saat ini. Persoalan tenaga kerja asing, yang sempat dijadikan peluru bagi kaum oposisi untuk mengkritik kebijakan tentang ketenagakerjaan, diprediksi juga akan dilontarkan kembali dalam kampanye pilpres mendatang.
Tingkat kemiskinan yang belum lama ini diwacanakan kembali oleh Ketua Umum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan sudah mendapat tanggapan dari kalangan pemerintah tentu bukan mustahil diramaikan kembali saat musim kampanye pilpres tiba.
Yang menjadi soal adalah: bahasa kampanye dan bahasa perdebatan yang didasarkan argumen serta data-data statistik sering kali jauh berbeda. Bagi kaum terpelajar, yang punya kemampuan memahami persoalan lewat laporan statistik yang kredibel akan dengan mudah melihat kubu mana yang paling mendekati kebenaran dalam pertarungan berwacana di saat berkampanye.
Hal itu tentu berbeda dengan kalangan rakyat banyak yang tak punya kemampuan memahami atau memverifikasi ke sumber-sumber statistik tepercaya untuk menilai pihak mana, apakah pihak petahana atau penantangnya, yang argumen-argumennya sesuai dengan fenomena yang ada.
Pada titik inilah retorika politikus akan menentukan dalam perolehan suara mayoritas pemilih yang masuk dalam kategori awam dalam memverifikasi klaim-klaim yang dikemukakan kandidat yang bersaing.
Yang tak kalah menariknya adalah tema kampanye yang akan ditawarkan kepada kaum milenial, generasi muda yang menjadi bagian terbesar dari pemilih dalam pilpres yang berbarengan dengan pemilihan anggota legislatif itu.
Kubu petahana dalam berbagai kesempatan memperlihatkan kepeduliannya kepada kaum muda yang kreatif, antara lain dengan mengapresiasi hasil kerja mereka baik itu di bidang kreasi disain grafis, modifikasi otomotif, garmen maupun sepatu santai dan olahraga.
Baca juga: Partai Gerindra fokus isu ekonomi di kampanye Pemilu 2019
Baca juga: Pengamat: Tak inovatif kubu Jokowi bisa kalah
Menemukan ruang-ruang baru bagi pengembangan kreativitas generasi milenial agaknya perlu terus dilakukan baik oleh kubu petahana maupun kubu penantang. Cara-cara ini tentu lebih dianjurkan dalam proyek pemajuan demokrasi lewat kampanye pilpres mendatang.
Setidaknya, hal itu lebih elegan ketimbang melakukan kampanye populis yang rada-rada rasial sebagaimana dilakukan Donald Trump saat berkampanye melawan pesaingnya Hillary Clinton dalam pilpres di AS. Saat itu Trump mengampanyekan akan mengembalikan kebesaran AS dengan membatasi orang asing seperti Muslim dan imigran dari Amerika Latin bekerja di negeri Uwak Sam itu.
Sangat mungkin bahwa kubu penantang akan mengeksploitasi sentimen publik, terutama kalangan warga yang belum memperoleh lapangan kerja, untuk mengampanyekan pembatasan warga negara asing yang memasuki lapangan kerja di Tanah Air.
Tampaknya, dibandingkan dengan situasi dan pilihan wacana kampanye Pilpres 2014, apa yang akan diwacanakan dalam kampanye Pilpres 2019 relatif lebih edukatif karena isu-isu primordial yang beraroma rasial dan keagamaan diprediksi akan raib.
Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018