Jakarta (ANTARA News) - Sekretaris Fraksi Partai Demokrat di DPR RI, Sutan Bathoegana, atas nama fraksinya menyampaikan penghargaan tulus atas sikap para tokoh Islam yang menolak pergerakan khilafah yang dianggap tidak cocok diterapkan di Indonesia yang memiliki konstitusi Undang-undang Dasar 1945. "Saya kira kita sudah final dengan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan Pancasila sebagai landasan kita berbangsa dan bernegara," kata Sutan kepada ANTARA di Jakarta, Senin.Penolakan terhadap gerakan khilafah itu antara lain disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Din Syamsuddin yang mengatakan khilafah tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia. Din Syamsuddin merupakan salah satu tokoh Islam yang diundang hadir dan memberikan ceramah dalam acara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Gelora Bung Karno, Minggu (12/8) kemarin. Acara yang mengusung kekhilafahan itu bertajuk Konferensi Khilafah Indonesia (KKI), dihadiri sekitar seratus ribu umat dari berbagai pelosok Indonesia, juga beberapa tamu asing. Din Syamsuddin mengatakan,"Silakan saja HTI menganggap Khilafah Islamiyah sebagai kepemimpinan Islam. Tetapi dalam Islam, makna khilafah sangat luas dan banyak persepsi. Misalnya, setiap orang adalah khilafah atau pemimpin dalam dirinya sendiri." Karena itu, acara KKI yang dihadirinya sebagai penceramah, menurut dia hanya memenuhi undangan, meski sejumlah tokoh Islam lain yang dijadwalkan hadir tidak datang. "Kedatangan saya tidak ada kaitannya dengan politik. Saya hadir di sini atas undangan dan kita harus menjaga hubungan baik dengan sesama umat Islam," kata Din Syamsuddin. Terhadap sikap para tokoh Islam, khususnya Din Syamsuddin itu, Sutan Bathoegana mengatakan hal itu sudah sangat pas. "Iya, saya kira itu bagus. Jadi itu sudah pas," kata Sutan Bathoegana. Kalau tokoh-tokoh Islam menolak mengubah dasar negara Indonesia, menurut dia, merupakan sebuah sikap sangat arif dan bijaksana. "Kita dukung itu, agar kita tidak kembali terpecah-belah seperti zaman penjajahan dulu," kata Sutan Bathoegana. Secara terpisah, juru bicara HTI, Muhammad Ismail Yusanto kepada pers dengan terang-terangan mengatakan pihaknya menolak sistem demokrasi yang menempatkan kedaulatan di tangan rakyat. "Kami menolak demokrasi yang menempatkan kedaulatan di tangan rakyat, karena kedaulatan itu seharusnya berada di tangan Allah," katanya. Tetapi, HTI menurut dia, tetap mengakui adanya pluralitas di dalam suatu masyarakat dan tidak serta merta menolak pemilihan umum serta sistem perwakilan di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Tentang acara konferensi itu, kata Muhammad Ismail Yusanto, tidak dimaksudkan untuk membuat deklarasi lahirnya sebuah kekhalifahan atau partai politik baru, tetapi lebih bersifat sebagai nasihat keagamaan serta memberi pendidikan kepada umat. Berseberangan Sebelumnya, Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Damai Sejahtera, Jeffrey Massie, menganggap sebagai sesuatu yang menarik, jika sekarang Indonesia sebagai bangsa pengusung ideologi Pancasila dan mendasarkan konstitusinya pada Undang Undang Dasar 1945 sepertinya telah menjadi pusat pergerakan dari `the re-establishment Islamic caliphate worldwide`. Mengomentari pernyataan berbagai tokoh Islam, termasuk Din Syamsuddin, Jeffrey Massie berpendapat, atas nama demokrasi, semua yang terjadi itu sah-sah saja. "Menurut saya, `in the name of democracy, freedom of expression` dan lain-lain, mungkin sah-sah saja untuk mewacanakan terbentuknya Khilafah Islamiyah Dunia dengan Indonesia sebagai pusat pergerakan itu (or so it seems), walau sebetulnya, menurut saya, wacana tersebut jelas-jelas berseberangan dengan konstitusi kita," katanya. Namun, Jeffrey Massie juga menilai Pemerintah Indonesia sepertinya tak punya konsep jelas menghadapi hal-hal seperti ini. "Karena pemerintah tidak mengambil tindakan apa-apa, yah `wes` mungkin-mungkin di mata pemerintah hal tersebut tidak apa-apa," katanya. Menurut Jeffrey Massie, `in the name of freedom of expression` juga, akan dianggap sah-sah saja jika sekelompok masyarakat tidak setuju dengan pandangan (mereka). "Pula (pemerintah) harus bersikap sama jika ada pihak yang merasa secara geografis politis tidak `sreg` atau tak `pas` lagi menjadi bagian dari NKRI yang ternyata fondasi negaranya dan dasar konstitusinya dengan mudah digoyang ke sana ke mari," kata Jeffrey Massie.(*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007