Jakarta (ANTARA News) - Pelaksanaan hajat demokrasi warga Jakarta yang baru saja dilaksanakan pada 8 Agustus 2007, untuk sementara ini mengantarkan kandidat calon gubernur (cagub)/wakil gubernur (cawagub) Fauzi Bowo-Prijanto meraih kemenangan tipis atas pesaingnya yang diusung Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Adang Daradjatun-Dani Anwar. Secara hitungan pasangan Adang-Daradjatun-Dani Anwar sudah tidak mungkin mengejar perolehan suara Fauzi Bowo yang akrab dipanggil dengan Bang Foke, berdasarkan data Pusat Tabulasi sampai Jumat (11/8) malam mendapatkan 2.088.095 suara atau 57,79 persen sedangkan Adang Daradjatun 1.525.428 suara atau 42,21 persen. Namun secara peraihan suara itu, Adang Daradjatun tanpa disangka-sangka berhasil memperoleh 42,21 persen dukungan karena perkiraan sejumlah lembaga survei hanya akan mendapatkan sekitar 20 persen sesuai dengan peraihan PKS pada Pilpres 2004 dimana parpol itu berhasil menjaring 24 persen suara. Terlebih lagi, peraihan suara Bang Adang itu hanya diusung oleh satu parpol saja sedangkan lawannya didukung oleh 20 parpol plus "restu" Wakil Presiden (Wapres), Jusuf Kalla dan dukungan dari sejumlah media massa, terlebih lagi pesaingnya itu merupakan "orang lama" yang namanya sudah dikenal di tanah Betawi. Perjuangan dari koalisi rakyat itu, terhitung sudah maksimal bak kesebelasan Indonesia saat melawan Arab Saudi pada Piala Asia, yang berjuang habis-habisan sedangkan lawannya merupakan jawara Asia dan sering mengikuti Piala Dunia. Demikian pula halnya dengan pilkada DKI Jakarta, yang sekaligus menjadi kejadian pertama kalinya di tanah air dimana gabungan parpol "babak belur" dihajar semangat "benahi Jakarta". Faktor orang lama itu, salah satu menjadi faktor penghalang Adang untuk meraup suara yang lebih banyak lagi, pasalnya Bang Foke menjabat sebagai wakil gubernur (wagub) hingga memudahkan untuk mengawali pengenalan namanya sebagai cagub yang ditambah lagi wajahnya terpampang di mana-mana salah satunya di papan Badan Narkotika Provinsi (BNP) DKI Jakarta. Meski ada sejumlah penghalang lainnya, yang berupa "black campaign" dengan menyudutkan namanya sampai partai yang mengusungnya, bahkan yang paling mencolok adanya media "Jakarta untuk Semua" (JuS) dengan menyebutkan sosok Adang terkait dengan korupsi di tubuh Polri. Parahnya menjelang pelaksanaan pencoblosan media itu disisipi di sejumlah media massa dan ada yang dijual di dekat tempat pemungutan suara (TPS). Selain itu, masalah kehadiran "ghost voter" juga menjadi penghalang Bang Adang untuk mengecap bangku DKI I serta ketidakberesan daftar pemilih tetap (DPT) yang "diprakarsai" oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta. Pengamat politik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Indra J Piliang, mengatakan, alasan Fauzi Bowo bisa memenangi pilkada itu, tidak terlepas dari bisa menggerakkan birokrasi untuk mendukungnya baik di tingkat atas sampai struktural terkecil, yakni, RW. "Mesin birokrasi ini lebih efektif dibandingkan dengan partai politik," katanya. Faktor lainnya yang menjadi kendala Adang memenangi pilkada, terkait keberadaan Fauzi yang terlebih dahulu menampakkan "kumisnya" . "Jadi saat dimunculkan sebagai calon, maka warga Jakarta tidak ada yang tidak mengenalnya. Atau dapat dikatakan ia telah lebih populer," katanya. Dukungan 20 parpol juga, semakin memudahkan melenggangkan Fauzi Bowo untuk meraih kemenangan, dan terlebih lagi hanya ada dua calon saja yang maju. Sebaliknya jika ada tiga calon, kata dia, besar kemungkinan Foke dapat tergelincir. Kendati demikian, ia menyatakan Adang tidak kalah karena keberhasilannya mencapai suara 40 persen. "Adang telah memberikan perlawanan terbaik, bukan menjadi pecundang total. Faktor utama yang menyebabkan kalah karena terlambat start serta tidak begitu dikenal oleh warga Jakarta," katanya. Ia juga menyoroti kurang banyaknya media yang memuat kampanyenya, menjadi salah satu faktor penghalang Adang hingga peraihan suaranya tidak maksimal. "Kekurangan Adang adalah ia kurang berhasil merangkul partai lain di luar PKS, tentunya juga karena adang dikeroyok oleh partai, dan tidakdidukung oleh birokrasi seperti Fauzi," katanya. Namun yang jelas, kata dia, Adang kalah start dibandingkan dengan Fauzi karena masyarakat Jakarta lebih dulu mengenal Fauzi daripada Adang. "Wajah Fauzi telah lebih dulu menghiasi baliho maupun poster-poster sebagai wakil Gubernur dan saat mengkampanyekan anti-narkoba," katanya.Masalah DPT Sementara itu, Ketua Tim Kampanye cagub/cawagub DKI Jakarta, Adang Daradjatun-Dani Anwar, Igo Ilham, mengharapkan adanya perbaiki pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) periode berikutnya. "Saya menyayangkan adanya satu juta pemilih yang tidak terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap. Ini jelas merugikan bagi cagub dan cawagub," katanya. Igo juga mengatakan masalah banyaknya warga Jakarta yang tidak dapat mendapatkan haknya untuk memilih menjadi salah satu kekurangan. Selain itu, dia mengatakan, kesalahan pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) di KPUD tentu menjadi kerugian bagi pasangan calon. Masih adanya nama ganda, anak di bawah umur yang terdaftar, dan orang yang meninggal masuk dalam DPT, menjadi `pekerjaan rumah` bagi semua pihak yang terlibat demi penyuksesan Pilkada. "Saya tidak akan menyalahkan KPUD, karena semua pihak seperti Pemda, Pemerintah Pusat, bahkan Presiden dan Wakil Presiden harus dapat memperbaiki pelaksanaan Pilkada ke depan," katanya. Selain itu, masalah `black campaign` dan `money politic` juga harus dapat diatasi dan harus ada sanksi tegas bagi pelanggarnya dimasa datang, ujar dia. Saat ditanya apa yang harus dikoreksi bagi tim kampanye cagub/cawagub Adang-Dani untuk memenangi Pilkada, dia mengatakan, tidak perlu ada perbaikan karena hasil perolehan suara sudah cukup baik. "Jika tidak terjadi kecurangan-kecurangan selama Pilkada mungkin hasilnya akan lebih baik," ujar dia. Kendati demikian, menurut dia, prestasi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam Pilkada DKI kali ini sudah cukup baik, bahkan berlipat ganda dari Pemilu 2004. Kalah Terhormat Sementara itu, Pengamat dari Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), A Agung Prihatna, menyatakan cagub/cawagub, Adang-Dani, kalah terhormat dalam mengikuti Pilkada DKI Jakarta 2007. "Pasangan itu mampu memperoleh basis dukungan yang lebih besar meski hanya didukung oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) saja," katanya. Padahal, kata dia, PKS sendiri pada Pilpres 2004 hanya memperoleh 24 persen namun Pilkada DKI Jakarta 2007 memperoleh 42 persen suara, berarti telah terjadi peningkatan signifikan dukungan warga kepada cagub, Adang Daradjatun. Koalisi Jakarta atau 20 parpol pendukung Fauzi Bowo pada pilpres, memperoleh suara 76 persen namun koalisi Jakarta yang mengusung Fauzi Bowo-Prijanto pada pilkada hanya memperoleh 57,6 persen. "Hal ini pasangan Adang-Dani mampu merebut suara sebesar 31 persen dari koalisi Jakarta," katanya. Dari sisi masyarakat pemilih untuk Fauzi Bowo-Prijanto berasal dari koalisi Jakarta sebesar 94 persen dan koalisi rakyat enam persen, namun Adang memperoleh dukungan dari koalisi rakyat yang lebih besar 41 persen dan dari koalisi Jakarta 59 persen. Ia mengatakan dari sisi pertimbangan warga memilih kedua cagub itu, yakni, untuk program Adang lebih besar mencapai 43 persen dan Fauzi hanya 31 persen. Jargon "Mari Benahi Jakarta" menjadi daya tarik bagi warga untuk mendukung Adang, sedangkan Fauzi Bowo unggul di sisi pengalaman dengan mendapat 36 persen terkait dengan jargon "pilihlah yang lebih berpengalaman," katanya. Dari sisi pendidikan, pemilih Adang yang berpendidikan SMA ke atas mencapai 72 persen sedangkan Fauzi Bowo hanya 63 persen. Namun Fauzi lebih unggul mendapat dukungan dari pendidikan SMP ke bawah sebesar 35 persen sedangkan Adang 28 persen. Pemilih dari suku sendiri, Fauzi lebih banyak didukung orang Betawi yang mencapai 39 persen sedangkan Adang 27 persen. Namun sebaliknya dukungan dari suku Jawa Adang lebih banyak 39 persen dan Fauzi hanya 30 persen. "Kendati demikian, kami bisa menyatakan Adang-Dani itu kalah terhormat dalam mengikuti pilkada," katanya. (*)
Oleh Oleh: Riza Fahriza, Virna Pusp
Copyright © ANTARA 2007