Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi III, Agun Gunandjar, dalam sebuah diskusi di Jakarta beberapa pekan yang lalu mengibaratkan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai monster. Bukan hanya Agun, anggota Komisi III lain, Lukman Hakim Saefuddin juga pernah melontarkan hal yang sama, beberapa saat setelah MK "menyunat" UU Komisi Yudisial (KY), sehingga lembaga yang dimaksudkan untuk mengawasi para hakim itu sekarang hanya bisa menyeleksi calon hakim agung. Lukman cukup punya alasan untuk menyebut MK sebagai monster, karena dalam putusan uji materiil UU KY, hakim konstitusi menyatakan MK bukan obyek pengawasan KY. Dengan demikian, pengawasan eksternal terhadap hakim konstitusi tidak ada. Jika hakim konstitusi melanggar kode etik, penyelesaian akhir berada pada majelis kehormatan yang dibentuk oleh MK sendiri, terdiri atas tiga orang dari MK dan empat orang di luar MK. Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, berkilah majelis kehormatan itu cukup untuk menyelesaikan pelanggaran kode etik yang diduga dilakukan oleh seorang hakim konstitusi. Apalagi, menurut dia, keputusan majelis kehormatan bisa dinilai obyektif karena majelis itu juga beranggotakan unsur dari luar MK dengan jumlah yang lebih banyak. Namun, bagi Lukman, MK tetap bakal tumbuh menjadi monster apabila lembaga yang memiliki kewenangan besar mencabut berlakunya UU dibiarkan tanpa pengawasan. Wajar apabila dua anggota DPR itu memiliki kekhawatiran terhadap MK. MK yang hanya terdiri dari sembilan hakim dapat menyatakan tidak berlakunya suatu UU yang merupakan hasil kerja ramai-ramai para anggota DPR dalam waktu yang relatif tidak singkat. UU yang dibatalkan karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 itu kemudian harus direvisi, yang berarti kembali lagi kepada parlemen dan menjadi pekerjaan rumah mereka. Sehingga, muncul penilaian di DPR, bahwa MK hanyalah tukang pembatal UU. Ambil contoh, putusan uji materiil UU KPK. Dalam putusan itu, MK menyatakan pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) bertentangan dengan UUD 1945 dan mengamanatkan pemerintah dan DPR untuk segera menyusun UU baru yang khusus mengatur pembentukan pengadilan tipikor. Dalam putusan itu, MK mengultimatum, UU pengadilan tipikor harus sudah terbentuk dalam waktu tiga tahun. Jika tidak, maka pengadilan tipikor harus dibubarkan dan perkara korupsi kembali ditangani oleh pengadilan negeri, yang masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Anggota DPR yang masa jabatannya tinggal dua tahun lagi harus memutar otak untuk menyusun RUU Pengadilan tipikor sebelum batas waktu yang ditentukan MK berakhir pada 2009. Saat ini, RUU itu masih berupa draft awal yang tengah dibahas oleh tim penyusun yang dibentuk Departemen Hukum dan HAM, sama sekali belum memasuki gerbang parlemen. Padahal, pada 2008 anggota DPR sudah disibukkan dengan pembahasan paket UU politik untuk persiapan Pemilu 2009. Pada 2009, diperkirakan anggota DPR sudah sibuk berkampanye menghadapi Pemilu. Hal yang sama juga terjadi pada UU KY. KY saat ini pincang karena kewenangan pengawasan hakimnya dicabut oleh MK. Namun, sampai saat ini pembahasan revisi UU KY belum juga dimulai oleh DPR. Putusan Kontroversial Sepanjang perjalanannya, MK beberapa kali membuat heboh melalui putusannya yang dinilai kontroversial. UU KY dan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) hanyalah beberapa korbannya. Bahkan KKR, yang belum sempat bekerja, dicabut kewenangannya karena UU KKR seluruhnya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh MK. Masih ada keputusan MK soal delik materiil dalam UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinyatakan tidak berlaku karena memberi tafsir terlalu luas dan beragam. Beberapa kalangan, termasuk Jaksa Agung saat itu, Abdul Rahman Saleh, sempat menyatakan MK tidak mendukung pemberantasan korupsi karena akibat putusan MK itu definisi tipikor hanyalah pelanggaran hukum secara tertulis, tanpa pertimbangan delik materiil yang mengedepankan rasa keadilan di masyarakat. Presiden pun sepertinya turut menjadi "korban" MK. Presiden sampai harus mendatangi Polda Metro Jaya, sebagai warga negara biasa, untuk melaporkan Zainal Ma`arif, karena pasal 134 dan 136 KUHP yang mengatur ancaman pidana bagi pelaku penghinaan terhadap Presiden dinyatakan tidak berlaku oleh MK. Putusan MK yang dianggap paling kontroversial baru-baru ini adalah calon independen yang boleh mengikuti Pilkada, sehingga meruntuhkan hegemoni partai politik dalam ajang Pilkada. Masih ada lagi, UU Sumber Daya Air (SDA) yang diputuskan MK boleh dikuasai oleh swasta, bahkan pihak asing. Selain itu, MK juga pernah memutuskan lulusan sekolah dasar diperbolehkan menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Padahal, pemerintah bermaksud melindungi warga negara dengan membatasi mereka yang minimal berpendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang boleh menjadi TKI. TKI lulusan SMP saja masih bisa dibohongi di luar negeri, apalagi yang lulusan SD. KPK pun merasakan dampak putusan MK. Oleh MK, UU KPK dinyatakan tidak berlaku surut (retroaktif), sehingga lembaga yang diharapkan perannya oleh masyarakat itu tidak berwenang menangani kasus korupsi yang terjadi sebelum 2002. KPK hanya bisa menjalankan fungsi supervisinya untuk kasus korupsi yang terjadi sebelum 2002. Hingga kini, masalah retroaktif dan pengadilan tipikor yang dinyatakan inkonstitusional oleh MK itu menjadi dalih yang laku digunakan oleh para kuasa hukum terdakwa koruptor sebagai bahan pembelaan mereka, yang untungnya, tidak diacuhkan oleh para hakim. Padahal, MK pernah menguji UU-nya sendiri dan justru menyatakan UU MK dapat berlaku surut, sehingga MK bisa bebas menguji UU yang dibuat dari jaman Belanda hingga jaman sekarang. Menyadari putusan MK yang seringkali kontroversial, DPR dalam revisi UU MK yang akan mulai dibahas pada akhir 2007 mengusulkan pembatasan kewenangan MK. Dalam draft revisi UU MK yang telah dikeluarkan Badan Legislasi (Baleg) DPR diatur beberapa pasal yang bertujuan membatasi MK. MK dilarang menguji UU-nya sendiri serta UU yang berkaitan dengan tugas dan wewenang MK. MK juga tidak boleh menguji UU yang disahkan sebelum perubahan UUD 1945. Diatur pula larangan MK untuk memutus diluar hal yang dimohonkan (ultra petita). Dalam beberapa putusannya, seperti putusan UU KY, UU KKR dan UU KPK, beberapa kalangan menilai MK memutus diluar hal yang dimohonkan oleh pemohon uji materiil, sesuatu yang ditabukan dalam dunia hukum. Agun Gunanjar menyatakan, pembatasan kewenangan MK yang diatur dalam revisi UU MK itu semata untuk menghalanginya menjelma menjadi sosok monster. Empat Tahun MK MK merayakan empat tahun keberadaannya sebagai salah satu lembaga tinggi negara pada 13 Agustus 2007. Perayaan ini terasa lain karena dibarengi dengan peresmian gedung baru yang pembangunannya menelan biaya hingga Rp90 miliar. Presiden, Wakil Presiden, Ketua MA, Ketua BPK, Ketua MPR, DPR, DPD, hingga Gubernur DKI Jakarta dijadwalkan menghadiri peresmian tersebut. Bangunan baru gedung MK yang terletak di Jalan Merdeka Barat, persis di sebelah gedung yang lama, seolah menyimbolkan keberadaan MK yang semakin kukuh dan berpengaruh dalam perjalanan tata negara Indonesia. Gedung megah itu terdiri atas dua bagian yang menyatu. Bagian depan gedung berkubah berlantai lima yang memuat ruag sidang yang cukup megah, beralaskan karpet tebal, serta perpustakaan tiga lantai yang diambisikan sebagai perpustakaan hukum terlengkap di Indonesia. Sedangkan gedung belakangnya terdiri atas sebelas lantai yang difungsikan sebagai ruang kantor hakim dan pegawai MK. Penanganan perkara di MK selama ini memang sukses menjalankan asas cepat, ringan, dan berbiaya murah, sesuatu yang belum bisa diwujudkan oleh pengadilan negeri. Tidak ada biaya perkara di MK, sidangnya selalu tepat waktu, proses pendaftaran dilakukan secara elektronik melalui internet, dan salinan putusan bisa langsung sampai di tangan lima menit setelah pembacaan putusan. MK dibentuk pada 2003 sebagai hasil perubahan ketiga UUD 1945. Selain kewenangan yang dimilikinya, yaitu menyelesaikan sengketa lembaga negara, pembubaran partai politik, perselisihan hasil pemilu, dan menguji pendapat DPR tentang pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden, MK adalah pengawal konstitusi. Hak-hak warga negara diatur dan dilindungi oleh konstitusi, dan MK diberi kewenangan untuk menguji UU terhadap konstitusi, yaitu UUD 1945. MK ada sebagai saluran warga negara untuk menguji suatu UU yang dinilai melanggar hak-haknya sebagai warga negara. Seorang pemohon uji materiil UU dapat membuat suatu aturan hukum dinyatakan tidak berlaku lagi apabila berhasil membuktikan dalil kerugian hak konstitusionalnya di muka sidang. UU adalah hasil kerja DPR yang telah melalui proses politik dan sarat kepentingan, sehingga bukan hal yang tidak mungkin justru melupakan kepentingan warga negaranya sendiri. Ahli perundang-undangan dari Universitas Indonesia, Maria Farida Indrati, pernah menghasilkan penelitian bahwa kualitas UU yang dibuat DPR pada masa setelah reformasi lebih buruk dari UU yang dibuat oleh para pendahulunya. MK ada sebagai mekanisme "check and balance" pembuatan UU, sehingga melalui putusan-putusannya yang berpihak pada kepentingan hak warga negara seharusnya bisa menyadarkan DPR untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas UU yang dihasilkannya. MK sebagai pengawal konstitusi harus berperan sebagai malaikat yang melindungi hak-hak konstitusional warga negara. Apalagi kini, setelah terbebas dari pengawasan KY, MK benar-benar bekerja bak malaikat yang hanya bertanggungjawab kepada Tuhan, tanpa pengawasan siapapun. Pilihan ada di tangan para hakim konstitusi, untuk berperan sebagai malaikat yang melindungi atau menjelma menjadi monster yang menakutkan. (*)
Oleh Oleh Diah Novianti
Copyright © ANTARA 2007