Seolah-olah memegang prerogatif pembuatan panggung Festival Lima Gunung 2018, perajin topeng dari Dusun Wonolelo, Desa Bandongan, Kabupaten Magelang, Jateng Khoirul Mutaqin menempatkan topeng "Penthul", di panggung dari bahan-bahan alam di areal persawahan kampungnya.
Terlebih saat memilih apakah membuat topeng "Penthul" atau topeng "Tembem" yang dalam pemahamannya, keduanya bagian dari pustaka topeng panji.
Pemuda dusun yang menjadi tuan rumah festival diselenggarakan Komunitas Lima Gunung itulah pengambil keputusan.
Bahan baku untuk pembuatan instalasi seni berupa topeng "Penthul" dengan tinggi dan lebar masing-masing dua meter serta panjang, 1,5 meter itu, berupa rangkaian bambu untuk kerangka dan kertas bekas wadah semen untuk muka sosok itu.
Dia gunakan lem untuk menempelkan sekam yang mewarnai bagian wajah sosok topeng, sedangkan untuk goresan alis, kumis, dan mata, Iroel panggilang akrab Khoirul itu, menggunakan abu.
Dengan abu itu pulalah dihadirkan bagian gigi "Penthul", sedangkan di bagian dahi, ditempatkan motif hiasan terbuat dari rangkaian potongan bundar-bundar bambu berukuran kecil-kecil.
Sekitar lima hari, pemuda yang juga Koordinator Instalasi Seni dan Panggung Festival Lima Gunung 2018 itu, dengan terampil dan imajinatif membuat instalasi seni berupa topeng "Penthul".
Sosok "Penthul" dengan topeng khasnya disebut dia, sebagai bagian yang lekat dengan sejumlah ragam tarian tradisional.
Secara autodidak, Iroel menjadi pembuat topeng. Dengan belajar dari siapa saja dalam pergaulan berkesenian, ia kemudian merambah kemampuan membuat seni instalasi panggung, memanfaatkan bahan-bahan alam desa.
Ia salah satu pegiat Komunitas Lima Gunung yang basis anggotanya para seniman petani di kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh, Kabupaten Magelang.
Oleh karena bentuk hidung topeng "Tembem" kesannya biasa-biasa saja, selayaknya hidung? manusia, sedangkan hidung topeng "Penthul" ada kesan tanggung antara pesek dan mancung, ia menggunakan prerogatifnya untuk menempatkan instalasi topeng "Penthul" di panggung festival.
Panggung tersebut di tengah areal persawahan dusun setempat. Satu panggung terbuka lainnya yang sama-sama menggunakan bahan alam, dibuat warga setempat di tengah permukiman warga Wonolelo.
"Kesannya topeng untuk `Penthul` ini, hidungnya lebih menonjol," ucap dia.
Hasil garapan topeng "Penthul" dengan ukuran raksasa itu memang terkesan sederhana. Namun, ia akan menjadi salah satu magnit kekuatan panggung festival.
80 Pementasan
Sebagian besar dari sekitar 80 agenda pementasan dan acara seni budaya lainnya selama tiga hari (10-12 Agustus 2018) Festival Lima Gunung XVII, disajikan di panggung dengan topeng "Penthul" itu. Sebagian pementasan lainnya di panggung kampung.
Sosok "Penthul" (dan "Tembem") menjadi bagian dari penari kesenian tradisional menggambarkan gerak keprajuritan berkuda kepang. Ia disebut Iroel sebagai tampil gecul.
Secara keseluruhan tariannya tak mengikuti gerakan barisan penari keprajuritan berkuda kepang. Konfigurasinya dalam merespons ruang pementasan lebih bebas, identik dekat dengan kebebasan gerak tarian sosok barongan.
Pengajar tari Universitas Negeri Yogyakarta Wenti Nuryani mengemukakan kehadiran sosok "Penthul" dalam tarian tradisional Jawa tidak lepas dari peranan simbolisnya sebagai penabur nilai-nilai kehidupan manusia, seperti soal-soal menyangkut dialektika terhadap kebaikan dan keburukan.
Kalau zaman penjajahan, sepengetahuan dia, tarian tradisional yang menghadirkan penari topeng "Penthul" (bersama "Tembem") sebagai gambaran atas sosok penjajah dan pribumi, serta sindiran terhadap pribumi yang menjadi antek penjajah.
"Itu mengingatkan kita semua. Ada sisi hitam putih yang selalu membayang-bayangi hidup manusia. Dihadirkan dalam sosok `Penthul` dan `Tembem`," ucap dia.
Wenti yang bersama suaminya, seniman tari, Rahmad Murti Waskito (almarhum), pada masa lampau menjadi pegiat Komunitas Lima Gunung itu, tidak memungkiri munculnya tafsir, narasi, dan pemaknaan kekinian atas sosok "Penthul".
Oleh karena perkembangan zaman, ada juga masyarakat desa yang memaknai kehadiran "Penthul" dalam tarian tradisional menjadi tontonan hiburan tersendiri.
Terhadap tampilan yang di luar kekompakan gerak tarian barisan keprajuritan, ia menyebut "Penthul" membawa simbol pesan tentang pentingnya kehadiran penjaga dan pembawa nilai hidup bersama, persatuan dan kesatuan.
"Kalau ada penari yang kesurupan, ia keluar arena pentas. Itu pun tafsirannya bisa bebas. Keburukan harus dijauhi, ditinggalkan, atau jangan korbankan orang kecil tidak bersalah," ujarnya.
Supadi Haryanto, pimpinan Sanggar Andong Jinawi Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang menyebut sosok "Penthul" bagian dari tarian tradisional menggambarkan keprajuritan, seperti jatilan, kuda lumping, jaran kepang, dan campur bawur.
Secara sepintas, dia mengakui bahwa ada kemiripan dalam sejumlah tarian tradisional yang disebutnya itu, seperti gambaran tentang gerak keprajuritan dengan penggunaan properti pedang dan kuda kepang.
Kelompok seniman petani Andong Jiwani yang dipimpinnya itu, bagian dari Komunitas Lima Gunung dengan basis kesenian tradisional berupa "Jaran Papat", tarian dengan gerak keprajuritan empat orang menggunakan kuda kepang. Tarian itu secara turun temurun wajib dipentaskan dalam tradisi saparan warga dusunnya di kawasan Gunung Andong itu.
Supadi yang juga juragan sayuran dan Ketua Komunitas Lima Gunung itu, selain menyebut peranan "Penthul" sebagai penghibur dalam tontonan kesenian rakyat, sesungguhnya ia juga memainkan peran bermakna sebagai pemomong kehidupan. Posisinya, kira-kira punakawan kalau dalam wayang.
"Selain gerakan tariannya gecul, menghibur, `Penthul` itu juga tentang `kawruh` (pengetahuan tentang nilai dan spiritual). Makanya ia disegani sebagai titisan, mengemban pengetahuan dan kebijakan," katanya.
Kalau instalasi topeng "Penthul" dihadirkan pada Festival Lima Gunung tahun ini, barangkali ajang seni budaya seniman petani komunitas itu memang secara simbolik untuk menimba "kawruh" urip.
Baca juga: Warga siapkan arena Festival Lima Gunung 2018
Baca juga: Festival Lima Gunung "setengah kota dan setengah desa"
Pewarta: Maximianus Hari Atmoko
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018