Baghdad, Irak (ANTARA News) - Tokoh Syiah terkemuka di Irak Moqtada As-Sadr, Kamis (9/8), mengatakan partainya takkan bergabung dengan koalisi pemerintah jika partai politik gagal mengajukan calon sesuai persyaratan yang ia tetapkan bagi perdana menteri mendatang negeri itu.
Pada awal Agustus, As-Sadr mengajukan 40 syarat yang ia klaim mesti dipenuhi oleh calon perdana menteri mendatang Irak.
Di antara persyaratan tersebut ialah calon perdana menteri mesti independen dan tidak berafiliasi pada partai tertentu apapun, dan juga bukan anggota Parlemen.
Selain itu, calon tak boleh dicurigai melakukan korupsi keuangan, atau memiliki dwi-kewarganegaraan.
As-Sadr juga menekankan bahwa partai politik tak boleh mencampuri pekerjaan perdana menteri mendatang, yang harus mengajukan lima calon teknokrat untuk masing-masing kementerian di dalam kabinet mendatang.
"Saya akan memberi batas waktu khusus (buat semua faksi politik) untuk memenuhi semua 40 syarat itu. Jika tidak, oposisi adalah keputusan kami," kata Moqtada As-Sadr di dalam pernyataan yang disiarkan di jejaring resminya, sebagaimana dikutip Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Jumat siang.
Tenggat akan ditetapkan sampai Mahkamah Tertinggi Kehakiman mengkonfirmasi hasil akhir pemilihan umum, atau 15 hari, kata As-Sadr tanpa menyebutkan tanggal awal bagi 15 hari tersebut.
Semua blok politik Irak, yang meraih kursi di Parlemen, telah terlibat dalam perundingan alot untuk membentuk aliansi terbesar yang akan membentuk pemerintah mendatang dalam empat tahun ke depan.
Sementara itu, As-Sadr menyeru semua blok politik agar bergabung dengan blok As-Sa`iroon, yang dipimpinnya, sebagai oposisi untuk membentuk aliansi baru tangguh yang dikenal dengan nama "Selamatkan blok tanah air", jika aliansi terbesar dibentuk oleh blok politik dan tidak mencakup blok As-Sa`iroon.
Pada 12 Mei, jutaan orang Irak mendatangi 8.959 pusat pemungutan suara di seluruh negeri tersebut untuk memberi suara mereka dalam memilih anggota Parlemen mereka dalam pemilihan umum pertama setelah kemenangan bersejarah Irak melawan kelompok gerilyawan IS pada Desember lalu.
Pada 19 Mei, Komisi Tinggi Pemilihan Umum Independen (IHEC) mengumumkan hasil pemilihan anggota Parlemen Irak, yang memperlihatkan koalisi politik As-Sa`iroon menang dengan 54 kursi di Dewan Perwakilan (Parlemen) Irak, yang memiliki 329 kursi.
Namun, Irak menyaksikan kemunduran serius dalam proses politiknya setelah pemilihan umum sebab banyak partai Irak, terutama di wilayah Suku Kurdi dan daerah sengketa, termasuk Provinsi Kirkuk, mengeluhkan adanya dugaan pemalsuan dan kecurangan dalam pemilihan anggota Parlemen.
Pada 24 Juni, satu panel sembilan hakim, yang menggantikan sembilan anggota IHEC, memutuskan untuk melakukan penghitungan ulang manual untuk kota suara yang dicurigai dalam pemilihan anggota Parlemen 12 Mei sehubungan dengan dugaan pemalsuan dan kecurangan.
Penerjemah: Chaidar Abdullah
Pewarta: antara
Editor: Gusti Nur Cahya Aryani
Copyright © ANTARA 2018