Karena gempa tidak pernah membunuh, tapi bangunan rubuh lah yang membuat korban jiwa
Jakarta (ANTARA News) - Gempa berkekuatan 7 Skala Richter (SR) di Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB), Minggu (5/8), telah membuat deformasi setinggi hingga 40 sentimeter (cm) di pesisir utara Pulau Lombok.
Data kenaikkan daratan di pantai utara Pulau Lombok tersebut diperoleh dari dua pemodelan berbeda yang dilakukan dua ahli geologi dan deformasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
"Iya. Proses gempabumi kemarin menaikkan daratan di pantai utara Lombok kira 20-40 cm. (Itu dari) hasil dari model ya," kata ahli geomorfologi, geologi dan vulkanologi BPPT Widjo Kongko saat dihubungi Rabu (8/8).
Dengan menggunakan simulasi model (analitik-numerik), Widjo Kongko mengetahui bahwa Lombok dan sekitarnya mengalami deformasi vertikal berkisar antara minus 0.15 cm sampai dengan positif 0.50 cm.
Daratan di sepanjang pantai di Kecamatan Bayan dan Sambelia diperkirakan mengalami kenaikan 20 hingga 40 cm dan di Kecamatan Masbagik dan Aikmel Selatan mengalami penurunan 10 cm.
Sementara itu, ahli gempa khusus deformasi permukaan tanah dari aktivitas tektonik dan vulkanik BPPT Agustan mengatakan dengan aplikasi penginderaan jauh aktif (berbasis radar) dapat mengidentifikasi deformasi permukaan akibat gempa.
Data yang diperoleh dari aplikasi penginderaan jauh aktif tersebut diolah dengan perangkat lunak SNAP S1TBX sehingga teridentifikasi perubahan permukaan akibat gempa Lombok tanggal 29 Juli 2018 dan 5 Agustus 2018 pada wilayah tertentu mencapai 20 cm.
Guna mengetahui deformasi secara nyata dari hasil pemodelan tersebut tentu para ahli masih harus turun ke lokasi untuk melakukan penelitian dan verifikasi kebenaran hasil pemodelan tersebut.
Kekuatan gempa
Dari catatan ahli, gempa bumi telah terjadi pada pukuk 18:46 WIB, Minggu (5/8). Gempa ini menurut berbagai sumber (BMKG, GFZ, USGS) bermagnitude 6.9 hingga 7.0, berpusat di 8.33 Lintang Selatan; 116.48 Bujur Timur pada kedalaman 15 kilometer (km).
Gempa bumi ini, menurut Widjo, ada di zona yang dikepung empat penjuru pada tatanan tektonik kompleks, yaitu dari selatan "Megathrust" zona subduksi Selatan Jawa (7 cm per tahun), dari utara subduksi busur belakang Sumbawa-Bali (7-9 milimeter/mm per tahun), dan dari Timur dan Barat dua mengapit sesar Lombok-Sumbawa yang masing-masing lajunya mencapai 0.5 mm per tahun.
Mekanisme gempa bumi ini adalah sesar naik dengan perkiraan empiris luas bidang patahan 30 x 20 km2 pada arah memanjang Barat-Timur dan subduksi ke Utara-Selatan. Dengan kedalaman dangkal (15 km), maka nilai kekakuan batuan diasumsikan relatif rendah (15 GPa).
Jika mengikuti rumus kekekalan enerji, maka Widjo Kongko mengatakan nilai rerata dislokasi atau gesernya adalah sekitar 2.8 meter (m). Perkiraan enerji gempa buminya pada magnitude di atas adalah setara dengan ledakan 3x10^5 Ton-TNT atau 20 kali Bom atom Hiroshima.
Gempa bumi ini berpusat di darat dengan 95 persen proyeksi bidang patahannya berada di darat dan sisanya di laut. Namun demikian, deformasi positif di permukaan buminya sekitar 50 persen adalah di laut, sehingga gempa bumi ini berpotensi menimbulkan tsunami (walaupun nilainya kecil atau minor dengan ketinggian maksimal 30 cm).
Ia mengimbau masyarakat untuk tetap waspada atas gempa bumi susulan dan potensi keruntuhan infrastruktur atau bangunan di sekitarnya, serta terus memantau dan mengikuti informasi dari otoritas resmi BMKG/BNPB/BPBD setempat.
Pemanfaatan penginderaan jauh
Teknologi penginderaan jauh aktif berbasis radar dengan menggunakan satelit radar Sentinel-1A dan 1B dapat dimanfaatkan untuk melihat deformasi, kata Agustan.
Satelit Sentinel-1B melintas di atas wilayah Pulau Lombok pada 25 Juli 2018 sekitar pukul 04.35 WITA (sebelum kejadian gempa); kemudian satelit Sentinel-1A juga melintas di atas wilayah yang sama pada 31 Juli 2018 sehingga dapat dilihat dampak gempa yang mencapai 6,4 Skala Richter (SR) pada 29 Juli 2018.
Selanjutnya satelit Sentinel-1B kembali melintas pada wilayah yang sama pada 6 Agustus (sekitar 10 jam setelah gempa 5 Agustus 2018) sehingga juga dapat digunakan melihat perubahan permukaan akibat gempa 7.0 SR tersebut dengan membandingkan data 31 Juli 2018. Keseluruhan data satelit Sentinel dapat diunduh secara bebas dari portal European Space Agency (ESA).
Dengan mengolah data tersebut menggunakan perangkat lunak SNAP S1TBX (freeware) teridentifikasi perubahan permukaan pascagempa bumi yang terjadi pada 29 Juli 2018 dan 5 Agustus 2018 di mana terjadi kenaikan permukaan tanah di utara Lombok setinggi hingga 20 cm.
Untuk membuktikan hasil pemodelan ini, menurut Agustan, memang masih perlu dilakukan verifikasi di lapangan.
Baca juga: LIPI: dua gempa Lombok berasal dari patahan yang sama
Menuju keseimbangan
Terkait adanya gempa dengan kekuatan besar mencapai 6,4 SR yang ternyata diikuti gempa lebih besar mencapai 7 SR, Agustan mengatakan sejauh ini tidak ada teori baku terkait gempa.
"Wallahu `alam, tidak ada teori baku terkait gempa, sampai saat ini banyak mashabnya. Mungkin saja gempa tanggal 29 Juli 2018 menginduksi gempa 5 Agustus 2018," ujar Agustan.
Artinya gempa kecil memancing gempa berikutnya. Semua teori bisa terjadi karena sistem patahan saling terkait dan menuju ke keseimbangan, lanjutnya.
Dan ia mengatakan besar kecilnya gempa juga terkait dengan luasnya bidang gempa.
Ia hanya mengingatkan untuk mitigasi ke depan, semua skenario pemodelan mekanisme gempa dan lokasinya harus terus dilakukan. Guna memperbaharui "building code" di Indonesia.
"Karena gempa tidak pernah membunuh, tapi bangunan rubuh lah yang membuat korban jiwa," ujar Agustan.
Pewarta: Virna Puspa S
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018