Jakarta (ANTARA News) - Pengamat ekonomi Aviliani mengingatkan bahwa jumlah utang luar negeri yang dilakukan oleh swasta saat ini pada posisi yang mengkhawatirkan, karena jumlahnya diperkirakan mencapai lebih dari 20 persen dari produk domestik bruto (PDB). "Jumlah utang luar negeri pemerintah memang menunjukkan adanya penurunan, namun sebaliknya swasta justru menunjukkan adanya peningkatan, sehingga posisinya diperkirakan mencapai di atas 20 persen dari PDB, yang aman itu di bawah 20 persen dari PDB," kata Aviliani dalam diskusi mengenai optimalisasi utang luar negeri akhir pekan ini di Jakarta. Menurut dia, jumlah utang luar negeri swasta yang berlebihan akan menjadi ancaman munculnya krisis ekonomi jilid II, ketika nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing terutama AS melemah dan pihak swasta tidak bisa membayar utangnya. "Ketika Rupiah melemah dan mereka tidak bisa membayar, maka akan terjadi default (gagal bayar) seperti yang terjadi pada tahun 1998. Oleh karena itu, Bank Indonesia (BI) melakukan sosialisasi ke daerah-daerah untuk perlunya pendataan utang swasta," kata Aviliani. Ia mengatakan krisis bisa terjadi ketika kita lengah terhadap data mengenai utang luar negeri, termasuk yang dilakukan oleh pihak swasta. Jika tidak ada data mengenai utang luar negeri oleh pihak swasta, maka BI tidak akan tahu kapan harus mensuplai valuta asing dan kapan dapat melonggarkan supplainya. "Kita tidak punya data mengenai utang luar negeri yang dilakukan pihak swasta, ini yang masalah," tegasnya. Mengenai perlu tidaknya melakukan utang luar negeri, Aviliani mengemukakan sebenarnya Indonesia tidak memerlukan utang luar negeri, karena posisi tabungan masyarakat saat ini mencapai jumlah yang tergolong tertinggi di dunia, yaitu mencapai 27 persen dari PDB. "Kemudian dilihat dari sisi investasi, saat ini masih mencapai sekitar 22 persen dari PDB, sehingga masih terdapat surplus. Jadi kita sebenarnya masih dapat memanfaatkan dana di dalam negeri yang ada," katanya.Harus ada monitoring yang baik Sementara itu, Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan Bappenas, Lukita D. Tuwo, menyatakan pada tahun 1997 memang jumlah utang luar negeri swasta cukup besar yang sebagian besar mengarah kepada sektor properti. "Untuk mengantisipasi munculnya krisis memang harus ada monitoring baik dari sisi jumlahnya maupun peruntukannya. Ini yang harus dicermati. Proses pelaporannya harus ditangani dengan baik," katanya. Ia mengakui hingga saat ini perangkat hukum yang memuaskan untuk melakukan hal itu belum ada. Saat ini sudah ada UU tentang Lalu Lintas Devisa, tetapi sepertinya BI merasa dasar hukum itu kurang kuat untuk memonitor lalu lintas devisa. Menurut dia, saat ini tengah disusun RUU tentang Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN). Awalnya RUU itu hanya ditujukan untuk mengatur utang luar negeri pemerintah, tetapi ada kesepakatan untuk memasukkan pengaturan utang luar negeri oleh swasta. "Tetapi yang menyangkut swasta hanya sebatas pada masalah pengaturan mengenai monitoring atau pelaporan secara ketat," katanya. Ada juga usulan agar dimungkinkan adanya kontrol atas pinjaman luar negeri oleh swasta dalam kondisi tertentu, yaitu ketika sejumlah indikator menunjukkan bahwa kita berada dalam situasi tertentu (krisis). "Kontrol akan terbatas sekali karena pemerintah juga tidak ingin adanya persetujuan dari setiap utang luar negeri yang dilakukan swasta," katanya. Sementara itu, Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN), M.S. Hidayat, mengatakan pihaknya belum pernah diajak bicara mengenai penyusunan aturan yang terkait dengan utang luar negeri oleh pihak swasta. "Lebih baik saya tidak berkomentar dulu, itu rasanya belum pernah dibicarakan, saya lagi sibuk dengan corporate social responsibility (CSR) yang diatur dalam UU di seluruh dunia," katanya. Meskipun demikian, ia menyatakan tidak keberatan jika pengaturan yang berkaitan dengan utang luar negeri swasta itu hanya sebatas pendataan atau pelaporan saja. Menurut dia, setiap utang luar negeri yang dilakukan oleh pihak swasta, sepanjang itu merupakan utang resmi corporate (perusahaan) sebenarnya terdaftar/tercatat di bank, jadi datanya sudah ada di bank," kata Hidayat. (*)

Copyright © ANTARA 2007