Jakarta (ANTARA News) - Pengamat politik, Said Salahudin memandang peta koalisi partai-partai politik terkait penentuan posisi calon wakil presiden baik di kubu Prabowo Subianto maupun kubu Joko Widodo masih sangat dinamis. Namun adanya nama Ustadz Abdul Somad dan Muhaimin Iskandar akan memberi pengaruh terhadap kemungkinan munculnya poros ketiga.
"Membaca gelagat politik Prabowo Subianto belakangan ini, saya meraba Ketua Umum Partai Gerindra itu sepertinya kurang tertarik untuk berpasangan dengan tokoh PKS Habib Salim Segaf Aljufri," kata Said, di Jakarta, Kamis.
Dari Partai Demokrat dan PAN pun gejalanya cenderung sama dengan Prabowo. Demokrat bahkan sudah mulai berani menunjukan resisten terhadap Habib Salim.
Demikian pula dengan PAN. Partai pimpinan Zulkifli Hasan (Zulhas) itu tampaknya ragu Prabowo bisa memenangkan Pilpres jika berpasangan dengan Habib Salim, kata Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) ini.
Menurut dia, jika dinamika yang terjadi di kubu Prabowo itu benar adanya, maka itu artinya PKS terancam gagal untuk memajukan kadernya sebagai cawapres Prabowo karena berat bagi PKS untuk memperjuangkan nama Habib Salim sendirian jika tidak mendapatkan "support" dari Demokrat, PAN, atau bahkan dari Gerindra sendiri.
"Saya justru menangkap kesan Prabowo saat ini lebih condong untuk menggaet tokoh muda Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai pendampingnya," tutur Said.
Masalahnya, lanjut dia, PKS dan PAN tampak kurang sreg dengan AHY. Situasi ini tentu tidak menguntungkan bagi Prabowo karena jika pada akhirnya Prabowo memilih AHY, maka PKS dan PAN mungkin saja akan membuat sebuah rencana baru.
"Nah, dari segala kerumitan tersebut, maka saya menduga pada acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PAN nanti, Zulhas akan menawarkan cawapres alternatif yang dianggap bisa diterima oleh Gerindra, PKS, dan mungkin juga oleh Demokrat," ujarnya.
Nama kandidat itu sepertinya bukan lagi Anies Baswedan atau Gatot Nurmantyo, tetapi Ustadz Abdul Somad (UAS).
UAS dipandang dapat menjadi solusi alternatif dari segala kerumitan yang terjadi dalam proses penentuan cawapres Prabowo ditengah ketatnya persaingan antara Habib Salim dan AHY.
Jika UAS yang ditawarkan oleh PAN, maka PKS kemungkinan juga akan setuju. Sementara di internal Gerindra sendiri nama UAS termasuk salah satu kandidat yang cukup diinginkan.
Dengan demikian, kata Said, jika paket Prabowo-UAS yang dipilih, maka dengan asumsi Gerinda, PAN, dan PKS setuju, lalu bagaimana dengan Demokrat?
"Sejauh ini saya melihat Demokrat sedikit alergi pada UAS. Tetapi oleh karena UAS bukan kader dari PKS dan PAN, maka latar belakang UAS sebagai tokoh non-parpol mungkin dapat menjadi penawar alergi Demokrat," paparnya.
Walaupun akan menerima UAS dalam perasaan batin yang terpaksa, misalnya, saya kira diam-diam Demokrat juga sudah punya hitung-hitungan terkait prospek paket Prabowo-UAS dalam menandingi petahana, ucap Said.
Oleh sebab itu, tambah dia, seandainya benar PAN akan mengusung UAS sebagai cawapres alternatif bagi Prabowo, dan usulan itu dapat diterima oleh Gerindra, PKS, dan Demokrat, maka peluang terbentuknya poros ketiga akan mengecil.
Tetapi sebaliknya, dalam hal UAS tetap menolak untuk disandingkan dengan Prabowo dengan alasan ia ingin tetap menjadi seorang pendidik di bidang agama, maka pintu poros ketiga menjadi sedikit terbuka.
"Ketika Prabowo memilih AHY, maka rencana baru PKS dan PAN mungkin saja akan diarahkan untuk membentuk poros ketiga," ujar Said.
Namun, poros baru itu tentu tidak bisa dibentuk hanya oleh dua partai itu lantaran tempat duduk PKS di DPR hanya 40 kursi dan PAN 48 kursi. Jumlah ini tentu belum memenuhi syarat pengusulan capres-cawapres, minimal 112 kursi.
Oleh sebab itu, PKS dan PAN tentu harus mencari mitra baru. Di sini saya melihat peluangnya ada pada PKB. Dengan modal 47 kursi DPR, PKB bisa menambah kekurangan kursi PKS dan PAN, demikian Said Salahudin.
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018